TT-24


kembali | TAMAT

TT-24“AKU peringatkan Ki Rangga Kriyadipraja, jangan berada di pihak para cantrik. Ketika terjadi pengambil alihan tanah di Randu Batang. Ki Rangga justru berada diantara rakyat Randu Batang. Itu akan dapat membahayakan diri Ki Rangga Kriyadipraja sendiri”

“Aku adalah seorang prajurit yang tegak pada sikap keprajuritanku, Ki Rangga Surawiraga. Karena prajurit itu adalah bagian dari rakyat, maka aku akan berada diantara rakyat. Termasuk rakyat yang tinggal di padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu bersama para prajuritku”

“Ki Rangga Kriyadipraja agaknya memilih tempat yang sulit. Tetapi baiklah. Jika terjadi sesuatu pada Ki Rangga Kriyadipraja, jangan salahkan kami”

“Terjadi sesuatu atau tidak, sejak semula aku sudah menyalahkan Ki Tumenggung Singaprana” jawab Ki Rangga Kriyadipraja.

“Bagus. Tetapi sikap Ki Rangga Kriyadipraja itu tidak akan merubah sikap Ki Tumenggung Singaprana”

“Aku tahu. Tetapi aku pun akan tetap berada di tempatku”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Singaprana telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Esok pagi-pagi pasukannya yang kuat akan berangkat ke sawah untuk melawan orang-orang padepokan yang tidak mau tunduk kepadanya.

Pasukannya yang berada di Randu Batang, di Kasinungan dan di Kembangarum akan bergabung menjadi satu pasukan yang kuat. Yang akan dengan mudah menundukkan perlawanan para cantrik.

Namun pada hari itu, Ki Udyana pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya pula. Para cantrik pun benar-banar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan isi padepokan yang dipimpin Ki Udyana itu napak lebih bergelora.

Ki Rangga Kiryadipraja dan prajuritnya yang hanya beberapa orang pun telah berada di padepokan itu pula. Ki Rangga benar-benar berpegang teguh pada sikap seorang prajurit yang berkewajiban melindungi rakyatnya.

Malam itu memang terasa menjadi tegang oleh para penghuni padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu. Esok mereka harus berhadapan dengan para prajurit Mataram yang kuat. Mereka akan berhadapan dengan para prajurit Mataram yang berada di Randu Batang, di Kembang Arung dan di Kasinungan.

Tetapi para cantrik dari padepokan itu sudah bertekad untuk tidak melepaskan sejengkal tanah pun kepada Ki Tumenggung Singaprana.

“Kami tidak akan mau menjadi korban keserakahan seseorang” berkata Wikan kepada para cantrik.

Di hari berikutnya, di pagi-pagi sekali, seisi padepokan itu sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka akan pergi ke sawah untuk mempertaruhkan sawah mereka. Mungkin mereka benar-benar harus bertempur melawan para prajurit Mataram. Benar-benar bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka.

“Senyari bumi” berkata para cantrik itu dihatinya, “Senyari bumi akan dipertahankan sampai mati”

Ketika langit menjadi terang, maka seisi padepokan itu pun telah bersiap. Diantara mereka terdapat prajurit Mataram dalam kelengkapan pakaian serta ciri-ciri keprajuritan mereka. Jika pengaruh para prajurit yang dipimpin Ki Rangga Kiryadipraja itu dapat meredamkan niat Ki Tumenggung Singaprana, maka tidak akan terjadi pertempuran. Tetapi jika Ki Singaprana tetap pada pendiriannya, maka memang akan terjadi perang.

Sebelum berangkat, Wikan pun telah memberikan beberapa pesan kepada Tanjung, agar ia menjaga Tatag baik-baik.

“Jangan biarkan anak itu pergi. Jika ia berlari ke sawah untuk melihat perang, maka pengaruhnya akan kurang baik baginya. Apalagi dipertempuran itu benar-benar terjadi sentuhan senjata sehingga melukai seseorang. Selain itu, Tatag terlalu sering membuka bajunya dimana-mana. Noda hitam didadanya itu akan dapat dilihat oleh banyak orang diluar lingkungan kita”

“Ya, kakang. Aku akan menjaganya dengan baik. Aku tidak akan melepaskannnya keluar”

Wikan menarik nafas panjang. Ditepuknya pipi anaknya yang masih tidur nyenyak itu. Wikan sengaja tidak membangunkan-nya, meskipun langit sudah menjadi semakin terang.

Demikianlah, menjelang matahari terbit, maka seisi padepokan itu telah bersiap. Ki Rangga Kriyadipraja pun kemudian membawa mereka keluar dari padepokan untuk pergi ke sawah. Mereka akan menyelamatkan sawah-sawah mereka. Meskipun tidak akan membiarkan pertanda kepemilikan mereka yang terpancang pada papan-papan yang mereka pasang di sawah mereka dicabuti.

Ketika mereka berjalan di jalan yang membujur diantara kotak-kotak sawah mereka, maka di kejauhan mereka pun melihat iring-iringan prajurit Mataram di bawah pimpinan langsung Ki Tumenggung Singaprana.

“Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung Singaprana” berkata Ki Rangga Kiryadipraja.

Ki Rangga itu pun kemudian berjalan di paling depan. Bahkan bersama dua orang Ki Rangga itu telah mendahului iring-iringan para prajurit nya serta para cantrik.

Bahkan seorang Lurah prajurit yang mengambil alih pimpinan telah mengisyaratkan agar iring-iringan dari padepokan yang di pimpin Ki Udyana itu berhenti.

Sementara itu, Ki Rangga Kriyadipraja yang mendahului iring-iringan dari padepokan itu langsung menemui Ki Tumenggung Singaprana yang memimpin pasukannya yang ternyata cukup besar.

“Ki Tumenggung” berkata Ki Kirayadipraja setelah mereka berdiri berhadapan, “Apakah Ki Tumenggung masih akan melanjutkan niat Ki Tumenggung merampas tanah padepokan itu?”

“Ki Rangga. Aku sudah memperingatkan Ki Rangga, agar Ki Rangga tidak usah mencampuri persoalanku. Biarlah aku yang mempertanggung jawabkannya kepada siapapun. Sedangkan sebaiknya Ki Rangga menyelesaikan urusan Ki Rangga sendiri. Uruslah tanah yang akan kau pergunakan tanah untuk membangunkan lingkungannya yang serasi dengan pesanggrahan itu. Atau mungkin untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Aku berjanji untuk tidak mengganggumu”

“Ki Tumenggung. Seperti yang sudah beberapa kali aku katakan kepada Ki Tumenggung langsung atau tidak langsung, bahwa yang Ki Tumenggung lakukan itu jelas akan mengganggu tugas-tugasku. Karena itu, maka aku akan tetap menghalangi niat Ki Tumenggung. Bahkan aku akan minta agar Ki Tumenggung mengembalikan TanahRakyat di Randu Batang dan di Kasinungan”

“Bicaramu menjadi semakin tidak terarah, Ki Rangga. Sudahlah. Sekarang ajak para cantrik itu pergi. Jika kau ajak mereka mempertahankan sawahnya,itu akan berarti bahwa kau sudah mempertahankan sawahnya, itu akan berarti bahwa kau sudah membawa mereka kedalam petaka. Sementara itu, prajurit yang kau bawa jumlahnya terlalu sedikit untuk mencegah prajurit-prajuritku yang akan menyingkirkan papan-papan yang sangat menyinggung perasaan itu. Prajurit-prajuritku hari ini tidak sekedar membawa tongkat-tongkat kayu. Tetapi mereka membawa senjata yang benar-benar dapat menggores tubuh para cantrik itu. Ujungnya benar-benar dapat menghunjam ke dalam perut mereka. Tolong, katakan kepada para cantrik itu. Sedangkan para prajuritmu tentu sudah tahu, bahwa senjata yang kami bawa sekarang itu akan dapat benar-benar membunuh mereka”

“Cantrik yang datang bersamaku cukup banyak, Ki Tumenggung. Jauh lebih banyak dari para cantrik yang pernah kau hadapi sebelumnya. Semalam Ki Udyana sempat mengerahkan saudara-saudara seperguruannya serta murid-muridnya untuk mempertahankan hak mereka”

“Akibatnya akan menjadi semakin buruk, Ki Rangga. Seharusnya Ki Rangga dapat menasehatkan kepada mereka, agar mereka tidak melakukan hal itu. Karena dengan demikian, korban akan semakin banyak berjatuhan. Meskipun jumlah mereka cukup banyak, tetapi jika mereka tidak memiliki bekal ilmu yang cukup, maka mereka akan menjadi sulung yang menyurukkan diri ke perapian”

“Mereka adalah murid-murid dari sebuah padepokan yang telah mendapat bekal olah kanuragan. Sementara itu, aku dan prajurit-prajuritku akan menjadi saksi, bahwa perlawanan yang mereka berikan adalah perlawanan yang wajar. Mereka tidak dapat dikatakan memberontak, karena mereka mempertahankan hak mereka yang akan Ki Tumenggung rampas”

“Cukup. Kembalilah kepada mereka. Katakan kepada mereka, bahwa sebaiknya mereka kembali ke padepokan. Jika mereka tetap pada niat mereka untuk melawan, maka korban yang akan jatuh sama sekali bukan tanggung-jawabku”

“Baiklah. Jika demikian, maka pertempuran tidak akan dapat dihindari. Tetapi seperti yang akan katakan, aku akan berdiri di pihak Ki Udyana”

“Kau memang bodoh, Ki Rangga” berkata Ki Rangga Surawiraga, “sebaiknya kau dapat bekerja-sama dengan Ki Tumenggung seperti aku. Bukankah kerja-sama ini menjanjikan sesuatu yang menarik? Ki Tumenggung Yudapangarsa tidak akan memberikan kenang-kenangan sebanyak yang dapat diberikan oleh Ki Tumenggung Singaprana. Sementara itu, Ki Tumenggung Yudapangarsa pun tidak akan dapat bertindak apa-apa terhadap kami. Tidak ada prajurit cukup untuk mengendalikan pasukanku di Mataram sekarang. Apalagi bersama pasukan yang sudah berada di Randu Batang dan di Kasinungan”

“Kerja-sama yang Ki Rangga lakukan menjanjikan apa? Uang yang banyak? Atau apa?”

Ki Rangga Surawiraga tertawa. Namun yang menyahut adalah Ki Panji Suranegara, “Jangan pura-pura tidak tahu, Ki Rangga. Jika kau mati-matian membela kepentingan tugas Ki Tumeng-gung Yudapangarsa itu, apa yang kau kehendaki?”

“Bukankah itu sudah kewajibanku sebagai seorang prajurit?”

“Tentu tidak hanya itu. Beaya untuk membangun sebuah pasanggrahan tentu sangat besar, meskipun disebut sebagai pesanggrahan kecil. Nah, seberapa banyak bagian yang akan kau peroleh dari sana?”

“Aku sudah digaji untuk itu”

“Hanya gaji saja? Berapa gajimu sebulan?”

Ki Rangga Kriyadipraja menggeratakkan giginya. Wajahnya menjadi merah, sementara jantungnya terasa bagaikan membara.

Namun Ki Rangga masih berusaha mengendalikan dirinya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Tumenggung, Ki Rangga dan Ki Panji. Jalan yang kita pilih memang berbeda. Silahkan kalian memilih jalan kalian dan aku akan memilih jalanku. Mungkin jarak kita akan menjadi semakin jauh jika kita beradu punggung. Tetapi mungkin jalan kita akan berbenturan jika kita berada dada”

“Bagus. Bawa prajurit-prajuritmu itu kemari. Bawa para cantrik itu turun ke sawah, karena kami akan segera menyingkirkan papan-papan yang bertuliskan kata-kata yang sangat menyinggung perasaan kami”

“Menyinggung apa? Bukankah itu hak mereka untuk menulisi papan itu dengan kata-kata bahwa tanah itu milih padepokan? Bukankah tanah-tanah itu memang milik padepokan?”

“Apa pun yang kau katakan, Ki Rangga. Kami akan tetap melakukannya. Bersiaplah. Jika kalian akan menghalangi, lakukanlah. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, bahwa jika ada korban yang jatuh, maksudku benar-benar terbunuh dan mati, itu bukan tanggung-jawabku”

“Aku adalah saksi, bahwa kalian telah melakukan perampasan dan pembunuhan disini”

“Kalau kau mati, maka kau tidak akan dapat bersaksi”

“Setiap prajurit akan dapat bersaksi. Bahkan setiap cantrik akan bersaksi. Atau kalian memang akan menumpas kami semua serta para cantrik yang masih berada di padepokan?”

“Persetan. Lakukan apa yang akan kalian lakukan. Kami akan melakukan yang kami anggap baik untuk kami lakukan”

Ki Rangga Kriyadipraja itu pun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Singaprana serta para prajuritnya yang ternyata jumlahnya cukup banyak. Tetapi isi padepokan yang turun ke sawah itu pun jumlahnya cukup banyak pula.

Darah Ki Rangga itu pun serasa mendidih didalam tubuhnya ketika ia mendengar Ki Tumenggung Singaprana itu berteriak, “Ki Rangga. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi. Ki Rangga akan dimakamkan dengan upacara kebesaran oleh para cantrik itu dan memuja Ki Rangga sebagai seorang pahlawan. Tetapi semuanya itu tidak akan ada gunanya bagi Ki Rangga, karena Ki Rangga tidak akan merasakan sanjungan pada mayat Ki Rangga”

Suara tertawa pun meledak. Ki Rangga Surawiraga, Ki Panji Suranegara dan beberapa pemimpin kelompok prajurit yang berdiri di belakang mereka bertiga itu pun tertawa berkepanjangan.

“Kau tertawa sekarang, Ki Tumenggung. Tetapi nanti kau akan menangis. Tidak hanya hari ini, tetapi untuk hari-harimu yang panjang”

Ki Tumenggung Singaprana tertawa semakin keras.

Ki Rangga Kriyadipraja tidak menghiraukannya lagi. Ia pun kemudian berjalan dengan cepat menemui Ki Udyana dan para pemimpin isi padepokan itu.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur” berkata Ki Rangga.

“Baiklah. Jika demikian, apaboleh buat” desis Ki Udyana.

Ki Udyana pun kemudian segera memberikan isyarat, agar orang-orangnya siap menyebar. Mereka harus mencegah para prajurit itu mencabuti papan-papan yang ditulisi pernyataan, bahwa tanah itu milik padepokan. Bahkan para prajurit Ki Tumenggung Singaprana itu telah mempersiapkan papan-papan yang bertuliskan pernyataan, bahwa tanah itu adalah tanah milik Ki Tumenggung Singaprana.

Ketika matahari mulai naik, maka Ki Tumenggung Singaprana yang berdiri dihadapan para prajuritnya itu maju beberapa puluh langkah. Dengan kepala tengadah ia pun berkata, “Aku akan memberi kesempatan terakhir kepada kalian. Aku akan melangkah kembali kepasukanku. Jika aku sampai ke pasukanku, kalian masih belum memanfaatkan kesempatan terakhir yang aku berikan untuk meninggalkan tempat ini, maka kami akan turun ke sawah dan menyingkirkan papan-papan itu, sekaligus memasang papan-papan yang sudah kami siapkan”

Ki Tumenggung tidak menunggu lagi. Ia pun segera berbalik dan berjalan kembali ke pasukannya.

Berbareng dengan itu, maka Ki Udyana pun telah memberikan perintah pula kepada orang-orangnya untuk segera menyebar.

Nampaknya para cantrik masih merasa sayang kepada tanaman-tanaman mereka. Karena itu, maka mereka pun segera menyebar lewat pematang, sehingga mereka tidak menginjak-injak tanaman mereka. Meskipun mereka sadar, jika benar-benar terjadi benturan, maka tenaman-tenaman mereka itu pun akan terinjak-injak pula seperti yang pernah terjadi”

Ki Tumenggung Singaprana pun merasa, bahwa orang-orang padepokan itu sama sekali tidak menghargainya, apalagi ketakutan atas ancamannya. Mereka dengan tegas telah menjawab kesempatan yang disebutnya sebagai peringatan terakhir itu dengan langkah yang tegar untuk menentangnya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun segera menjatuhkan perintah, “Lakukan. Singkirkan papan-papan yang mereka pasang, dan ganti dengan papan-papan yang sudah kita siapkan. Jika mereka melawan dan apalagi membahayakan bagi kalian, terserah apa yang akan kalian lakukan”

Demikianlah, maka para prajurit itu pun segera menghambur. Mereka sama sekali tidak menghiraukan tanaman yang tumbuh subur di kotak-kotak sawah. Mereka langsing terjun dan menginjak-injak tanaman itu.

Para penghuni padepokan yang melihat para prajurit itu mulai bergerak, maka mereka pun tidak mempunyai pilihan, meskipun mungkin mereka pun akan menginjak-injak tanaman pula.

Meskipun terasa betapa beratnya merusak apa yang mereka pelihara dengan penuh kecintaan sehingga tanaman-tanaman itu tumbuh dengan subur, namun mereka pun harus turun pula.

“Kami harus melindungi sawah-sawah kami dari keserakahan orang-orang itu”

Sebenarnyalah bahwa telah terjadi pertempuran diantara para prajurit Mataram melawan sekelompok kecil prajurit yang dipimpin oleh Ki Rangga Kriyadipraja. Namun orang-orang dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu pun cukup banyak pula. Mereka pun kemudian menebar dan siap menyerang dari beberapa arah.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang padepokan itu bukan orang kebanyakan. Dalam pertempuran yang sengit, maka mereka pun menunjukkan, betapa mereka mampu mengimbangi kemampuan para prajurit Mataram.

Ki Udyana sendiri langsung berhadapan dengan Ki Tumenggung Singaprana. Sementara itu, Wikan telah menemukan lawannya pula. Ki Rangga Surawiraga. Sedangkan Ki Rangga Kriyadipraja bertempur melawan Ki Panji Suranegara.

Pertempuran diantara mereka pun menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Singaprana adalah seorang Senapati yang memiliki ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas. Tetapi yang dihadapinya adalah Ki Udyana yang sudah tuntas menyadap ilmu dari gurunya yang telah menyerahkan pimpinan padepokannya itu kepadanya.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Singaprana yang pernah menjelajahi medan perang di banyak penjuru tanah ini, merasa heran, bahwa pemimpin padepokan di tempat yang jauh itu ternyata memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya.

Ki Rangga Surawiraga yang juga seorang Senapati perang yang membanggakan kemampuannya, ternyata telah membentur ilmu seorang yang masih terhitung muda yang mampu menandinginya.

“Gila anak ini” geram Ki Rangga Surawiraga, “dimana kau mempelajari ilmu itu? Dari iblis bukit kapur itu?”

Wikan tertawa pendek. Katanya, “Apakah benar kau seorang Senapati Mataram? Menurut pendengaranku, Mataram memiliki Senapati yang berilmu tinggi, sehingga pasukannya yang melawat ke tempat yang jauh, dapat berhasil”

“Aku akan mengoyakkan mulutmu” Ki Rangga Surawiraga berteriak marah.

“Pantas bahwa kau tidak dibawa dalam perlawanan ke Timur beberapa saat mendatang. Ternyata kau memang tidak dapat berbuat apa-apa. Jika kau sempat menjadi seorang Rangga, mungkin karena kau dapat menyuap para Senapati yang lebih tinggi yang mempunyai wewenang untuk mengusulkan kenaikan pangkatmu”

“Persetan kau anak iblis. Jangan berbangga dengan tingkat kemampuanmu yang mampu menghentak pada benturan pertama iku. Tetapi pada saat ilmuku telah mapan, maka bukan apa-apa bagiku”

“Kapan ilmumu menjadi mapan? Nanti, besok atau setelah kau dipenjara karena tingkahmu sekarang ini?”

Ki Rangga Surawiraga menjadi sangat marah. Dengan garangnya ia pun menyerang Wikan yang sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Sambil menghindari serangan Ki Rangga Surawiraga, Wikan pun berkata, “Ternyata kau sudah mengkhianati atasanmu. Kau seharusnya menjunjung tugas yang dibebankan kepadamu, tetapi kau justru berbuat sebaliknya”

“Diam. Apakah sudah terbiasa bagimu untuk bertempur sambil bergeramang?”

Wikan tertawa. Suara tertawa Wikan telah membuat Ki Rangga Surawiraga menjadi semakin marah. Karena itu, maka serangan-serangannya pun menjadi semakin garang.

Tetapi Wikan masih saja mampu mengimbanginya. Wikan yang juga sudah mewarisi ilmunya dengan tuntas.

Yang bertempur disisi lain adalah Ki Rangga Kriyadipraja melawan Ki Panji Suranegara. Meskipun Ki Panji Suranegara adalah seorang Senapati yang agak liar yang bahkan terbiasa melakukan tindakan-tindakan sesuka hati sendiri, sehingga sering mendapat tegoran-tegoran dari atasannya, namun menghadapi Ki Rangga Kriyadipraja, Ki Sanji merasa semakin tertekan. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk membebaskan hatinya sendiri, “Ki Rangga. Bukankah Ki Rangga bukan seorang prajurit yang terbiasa berada di medan pertempuran? Ki Rangga Kiryadipraja adalah seorang prajurit yang terbiasa berada di tengah-tengah bangunan yang sedang digarap. Ki Rangga Kriyadipraja adalah seorang yang lebih akrab dengan alat-alat pertukangan daripada senjata. Mungkin Ki Rangga mampu memimpin pelaksanaan pembuatan pasanggrahan itu. Tetapi tempat Ki Rangga bukan disini”

“Mungkin Ki Panji. Mungkin aku adalah seorang prajurit pekerja. Sedangkan Ki Panji adalah prajurit yang terbiasa berkelahi dan bertarung. Di medan perang atau di tempat sabung ayam. Tetapi kita akan melihat saja, siapakah yang akan keluar dari pertempuran ini dengan membawa kemenangan”

“Persetan kau Ki Rangga. Jangan menyesal jika aku nanti membunuhmu”

Ki Rangga Kiryadipraja hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianalah pertempuran pun menjadi semakin sengit. Para prajurit yang berada di pihak Ki Tumenggung Singaprana pun telah meningkatkan kemampuan mereka. Mereka merasa tersinggung, bahwa sebagai prajurit Mataram, mereka tidak dapat segera menguasai para cantrik dari sebuah padepokan yang tidak terlalu banyak dikenal.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Para prajurit yang berada di bawah pimpinan Ki Tumenggung Singaprana pun sudah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Namun mereka tidak segera berhasil mendesak para cantrik. Bahkan para cantrik itulah yang semakin mendesak mereka.

Akhirnya Ki Tumenggung Singaprana pun kehilangan kesabarannya. Dengan lantang ia pun berteriak, “Lakukan apa yang baik menurut kalian. Orang-orang padepokan itu telah menjadi keras kepala. Mereka telah berani melawan prajurit Mataram, sehingga mereka dapat kita anggap sebagai pemberontak yang harus di hancurkan. Tangkap yang menyerah. Yang berkeras melawan, hentikan perlawanan mereka dengan cara apa pun juga”

“Perintah itu tegas bagi para prajurit. Yang berkeras untuk melawan, harus dihentikan. Jika ada yang terbunuh, itu adalah salah mereka sendiri”

Seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Singaprana, para prajurit itu tidak sekedar membawa tongkat pemukul dari kayu dan rotan. Tetapi mereka telah mencabut pedang-pedang mereka.

Ki Rangga Kriyadipraja yang meloncat surut untuk mengambil jarak berteriak, “Ki Tumenggung Singaprana. Pedang para prajurit itu dibeli dengan uang rakyat Mataram yang dikumpulkan lewat berbagai macam pajak. Apakah ujung pedang itu sekarang akan kau arahkan kepada jantung rakyat ini sendiri?”

“Mereka adalah rakyat yang tidak patuh. Mereka pantas untuk dihukum sebagaimana hukuman seorang pemberontak”

“Apakah kau kira rakyat itu tidak tahu apa yang kau lakukan disini? Apakah kau kita mereka tidak mengerti, bahwa kalian telah memeras mereka dengan kedok wajah prajurit Mataram”

“Persetan kau Kriyadipraja. Kaulah yang akan mati lebih dahulu, agar kau tidak dapat bersaksi atas peristiwa-peristiwa di daerah ini”

Tetapi jawaban Ki Rangga Kriyadipraja adalah aba-aba, “Para prajurit yang setia kepada tugasnya, tarik pedangmu. Kita akan menghancurkan mereka yang telah menodai nama baik para prajurit. Marilah para cantrik di padepokan Ki Udyana. Tunjukkan kesetiaanmu kepada Mataram dengan mempertahankan hak kalian”

Demikian para prajurit yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Singaprana itu menarik pedang mereka, maka para prajurit yang berpihak kepada Ki Rangga Kriyadipraja pun telah menarik pedang mereka pula. Meskipun jumlah mereka jauh lebih kecil dari para prajurit yang berpihak kepada Ki Tumenggung Singaprana, namun bersama-sama para penghuni padepokan, mereka merupakan kekuatan yang sangat besar.

Dengan aba-aba yang diteriakkan oleh Ki Rangga Kriya-dipraaja itu, maka para prajurit yang jumlahnya hanya sedikit itu, serta para penghuni padepokan yang berjumlah lebih banyak, telah menebar dan akhirnya mereka merupakan bulatan gelang yang mengepung para prajurit yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Singaprana.

Ki Tumenggung Singaprana menjadi sangat marah melihat gelar para prajurit yang dipimpin Ki Rangga Kriyadipraja serta para penghuni padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu. Bagi Ki Tumenggung, gerakan para penghuni padepokan itu adalah gerakan yang sangat menyakitkan hati, seakan-akan mereka dapat mengepung dan membatasi gerak para prajuritnya

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun kemudian berteriak, “Pecahkan kepungan itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang sombong, yang mengira bahwa mereka dapat mengepung dan membatasi perlawanan kita”

Sebenarnyalah para prajurit yang dipimpin oleh Ki Rangga Surawiraga itu pun segera berusaha membentur dinding kepungan yang tipis. Namun kepungan itu ternyata sangat lentur. Bahkan para penghuni padepokan itu, memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempertahankan lingkaran kepungan itu agar tidak terkoyak. Setiap kali orang-orang yang berdiri di kepungan itu dengan cepat bergeser, memperkuat sisi-sisi yang berusaha dikoyakkan oleh para prajurit yang berpihak kepada Ki Tumenggung Singaprana, Ki Rangga Surawiraga serta Ki Panji Suranegara.

Ternyata mereka bukan saja memiliki ilmu kanuragan yang tinggi secara pribadi. Tetapi mereka juga mampu bertempur dalam ikatan kebersamaan sebagaimana para prajurit.

Beberapa kali para prajurit yang berada dalam kepungan itu mencoba, namun ternyata mereka gagal.

Sementara itu, kepungan itu pun semakin lama menjadi semakin lama menjadi semakin mengecil. Meskipun para prajurit yang berdiri di belakang Ki Tumenggung Singaprana telah mengerahkan kemampuan mereka, namun mereka masih belum berhasil.

Dalam benturan yang semakin keras itu, maka kedua belah pihak pun tidak lagi dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Ujung-ujung senjata pun mulai menggores melukai kulit. Beberapa orang mulai menitikkan darah di kedua belah pihak. Bahkan kemudian, setelah matahari memanjat langit semakin tinggi sehingga mencapai puncaknya, ada diantara mereka yang bertempur itu mulai jatuh terbaring di tanah.

Kawan-kawan mereka pun berusaha untuk menyingkirkan mereka dari garis benturan kedua kekuatan itu. Mereka membawa kawan-kawannya yang terluka ke tempat-tempat yang lebih aman dari amuk ujung senjata.

Ki Tumenggung Singaprana yang bertempur melawan Ki Udyana semakin lama semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangan Ki Udyana menjadi semakin sulit untuk diperhitung-kan. Unsur-unsur geraknya pun menjadi semakin rumit sehingga Ki Tumenggung setiap kali harus bergeser surut. Namun tekanan Ki Udyana terasa menjadi semakin berat.

“Iblis manakah yang telah memberikan ilmu kepada orang ini” geram Ki Tumenggung Singaprana.

Sebagai seorang Tumenggung yang berpengalaman, Ki Tumenggung Singaprana pernah mengalami pertarungan melawan berbagai macam orang dengan ilmunya masing-masing. Namun kali ini ia benar-benar membentur kemampuan yang sulit diatasinya

Namun Ki Tumenggung Singaprana juga menjadi heran, bahwa prajurit-prajuritnya tidak segera dapat menguasi medan. Meskipun jumlah para cantrik itu cukup banyak, namun prajurit-prajuritnya seharusnya segera dapat menguasai seluruh medan.

Pada pertempuran yang pernah terjadi, prajurit-prajuritnya memang dapat didesak dan bahkan dihalau oleh para cantrik itu.

Tetapi waktu itu jumlah prajuritnya terlalu sedikit dibanding dengan para cantrik yang melawan mereka. Sedangkan para prajurit pun masih belum menerima perintah yang tegas untuk bertindak tanpa ragu-ragu lagi. Juga perintah untuk menghentikan perlawanan seperti yang diperintahkannya saat itu.

Bahkan para cantrik itu pun semakin lama justru semakin mendesak, sehingga para prajurit itu pun mengalami kesulitan.

Pertempuran yang terjadi di tengah sawah itu benar-benar pertempuran yang garang. Kedua belah pihak sudah tidak mengekang diri lagi. Agaknya mereka sudah sampai pada batas kesabaran masing-masing, sehingga mereka tidak lagi merasa segan untuk melukai lawan-lawannya. Bahkan seandainya ada yang terbunuh diantara mereka.

Sebenarnyalah bahwa korban telah jatuh.

Ki Tumenggung Singaprana pun semakin terdesak pula. Apa pun yang dilakukannya, namun ia tidak dapat mengatasi kemampuan Ki Udyana. Bahkan setiap kali Ki Udyana lah yang berhasil mendesaknya, sehingga Ki Tumenggung Singaprana itu hampir kehilangan akal.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Ki Tumenggung Singaprana telah berteriak lagi, “Jangan ragu-ragu. Hancurkan mereka. Kalian adalah prajurit-prajurit Mataram”

Namun ternyata Ki Rangga Kriyadipraja juga berteriak, “Tunjukkan bahwa kalian adalah prajurit Mataram yang tegak pada tugas-tugas kalian. Dihadapan kalian adalah para prajurit yang telah mengkhianati sumpah mereka. Karena itu, kalian harus menindak mereka tanpa ragu-ragu”

“Persetan kau Rangga Kriyadipraja. Aku akan membunuhmu nanti” teriak Ki Tumenggung Singaprana.

“Nanti setelah kau mati? Kau tidak akan dapat menang melawan Ki Udyana yang sudah menuntaskan ilmunya. Ki Rangga Surawiraga pun tidak akan dapat mengalahkan Wikan. Nah, adalah tugasku untuk memilin leher Ki Panji Suranegara”

“Iblis kau Kriyadipraja. Kau kira kau dapat mengalahkan aku”

Namun baru saja mulutnya terkatub, kaki Ki Rangga Kriyadipraja telah mengenai dadanya, sehingga Ki Panji Suranegara itu pun terdorong beberapa langkah surut. Bahkan hampir saja Ki Panji itu kehilangan keseimbangannya.

Demikianlah pertempuran pun menjadi semakin sengit. Senjata pun berdetangan beradu melontarkan bunga api ke udara.

Beberapa orang pun telah terkapar di sawah. Darahnya yang merah nampak menggenangi lumpur yang basah.

Ternyata bahwa para prajurit Mataram yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Singaprana itu tidak berhasil memecahkan kepungan yang justru menjadi semakin rapat dan menyempit. Ruang gerak para prajurit itu pun terasa menjadi semakin sesak. Sementara itu, mereka tidak mampu berusaha untuk mendesak kepungan itu.

Ketika Ki Tumenggung Singaprana menjadi semakin terdesak, maka Ki Udyana pun berkata lantang, “Menyerahlah, Ki Tumenggung. Kau tidak akan mampu mengatasi kekuatan kami”

“Persetan kau, Udyana. Kau kira kau siapa sehingga kau berani mengancamku”

Ki Udyana tertawa. Katanya, “Bukankah kau sudah kenal aku? Aku adalah pemimpin padepokan yang sedang mempertahankan haknya. Kenapa kau masih bertanya?”

“Aku adalah Senapati dari Mataram. Akulah yang berhak memberikan perintah kepadamu. Menyerahlah”

“Jika kau benar seorang Senapati yang mempunyai wawasan yang luas, kau tentu tahu, bahwa kau tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi disini. Semakin lama pertempuran ini berlangsung, maka akan semakin banyak prajuritmu yang terluka dan bahkan terbunuh. Sementara itu, mereka sama sekali tidak akan menikmati apa-apa seandainya kau berhasil merampok tanah rakyat”

“Persetan kau Udyana. Bersiaplah untuk mati”

“Kalau kau berbicara tentang kematian, maka aku pun akan berbicara tentang kematian. Kita akan bertempur sampai tuntas. Sementara itu, prajurit-prajuritmu satu demi satu akan terkapar di tengah-tengah sawah yang akan kau rampok ini. Darah mereka akan menjadikan tanah berlumpur ini menjadi merah”

Kata-kata itu memang menyentuh jantung Ki Tumenggung Singaprana. Tetapi sebagai seorang Senapati prajurit Mataram, Ki Tumenggung tidak akan begitu saja meninggalkan medan.

Namun dalam pada itu, seorang prajurit yang sedang bertempur melawan seorang penghuni padepokan itu terkejut. Ia mengenal lawannya yang disangkanya cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu.

“Kakang Giyar. Kaukah itu?”

Orang yang dipanggil Giyar itu meloncat surut. Diamatinya lawannya itu. Ternyata Giyar itu juga sudah mengenalinya dengan baik.

“Kau Wikan. Jadi kau ikut dalam gerakan melawan pranatan itu?”

Wikan pun bergeser surut. Namun tiba-tiba saja ia berlari meninggalkan Giyar. Dengan serta merta Wikan itu pun menghadap Ki Rangga Surawiraga yang masih bertempur melawan Wikan.

“Ki Rangga” Wikan itu pun berteriak, “Ada yang tidak wajar telah terjadi”

Ki Rangga Surawiraga itu pun segera meloncat surut untuk mengambil jarak. Wikan pun tidak memburunya, karena ia juga ingin mendengar apa yang akan dilaporkan oleh prajurit itu.

“Ada apa?” bertanya Ki Rangga Surawiraga.

“Yang kita lawan bukan hanya para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana?”

“Maksudmu? Apakah ada diantara mereka yang datang dari padepokan lain? Atau Udyana telah berhubungan dengan gerombolan-gerombolan penjahat?”

“Tidak. Tetapi diantara mereka terdapata beberapa prajurit”

“Prajurit? Prajurit mana maksudmu?”

“Prajurit Mataram. Aku mengenali seorang diantara mereka. Mungkin banyak yang dapat aku kenali jika aku mempunyai waktu”

“Prajurit Mataram?”

“Ya, Ki Rangga”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Aku berkata sebenarnya, “

“Beritahukan kepada Ki Tumenggung Singaprana. Ki Tumenggung harus mengetahui permainan kotor ini”

Wikan itu pun kemudian berlari menyusup diantara pertempuran yang sedang terjadi untuk menemui Ki Tumenggung Singaprana. sementara itu, Wikan pun sambil tertawa bertanya, “Siapakah yang kau tuduh melakukan permainan kotor?”

“Persetan. Masih ada waktu untuk membunuhmu”

Tetapi demikian pertempuran diantara mereka terjadi lagi, maka Ki Rangga pun segera terdesak pula.

Ketika Wikan kemudian menemui Ki Tumenggung Singaprana, maka ia pun segera memberikan laporan sebagaimana dilaporkan kepada Ki Rangga Surawiraga.

“Apakah kau tidak bermimpi, Wikan?” bertanya Ki Tumenggung Singaprana yang mengambil jarak dari Ki Udyana.

“Tidak, Ki Tumenggung, tentu ada sekelompok prajurit yang berkhianat. Mereka telah bergabung dengan para cantrik”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, Ki Rangga Kiryadipraja. Kau licik. Kau bujuk sekelompok prajurit untuk berpihak kepada para cantrik di padepokan di samping prajurit-prajuritmu itu”

“Siapa yang mengatakannya, Ki Tumenggung?”

“Prajuritku dapat menangkap basah seorang prajurit yang bergabung dengan para cantrik”

Tetapi Wikan yang lugu itu menyahut, “Aku belum menangkapnya Ki Tumenggung. Ia masih berada diantara para cantrik itu”

“Kau memang seorang yang dungu. Baik. Pergilah. Tangkap prajurit yang berpihak kepada para cantrik itu”

Wikan menjadi bingung. Bagaimana mungkin ia dapat menangkap Giyar yang berada diantara para cantrik yang justru semakin mendesak para prajurit Mataram itu.

Ki Rangga Kiryadipraja itu pun kemudian berteriak pula, “Ki Tumenggung Singaprana. Bukankah sudah aku katakan, bahwa prajurit adalah bagian dari rakyat itu sendiri, sehingga karena itu, maka para prajurit seharusnya justru berada diantara rakyat. Membela kepentingannya serta melindunginya dari tindakan sewenang-wenang”

“Persetan kau Rangga Kriyadipraja. Kaulah yang telah mengacaukan semua rencanaku yang sudah aku susun dengan baik. Karena itu, maka kau pun harus mati bersama semua prajurit-prajuritmu”

“Bagaimana mungkin kau dapat membunuh kami. Kau akan kalah. Prajurit-prajuritmu akan kalah. Ki Udyana lah yang akan membunuhmu, bukan sebaliknya. Wikan akan membunuh Ki Rangga Surawiraga dan sudah aku katakan, aku akan memilih leher Ki Panji Suranegara”

“Anak iblis. Akulah yang akan membunuhmu” geram Ki Panji Suranegara.

Tetapi pertempuran yang semakin sengit itu membuktikan, bahwa pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Singaprana itu semakin terhimpit dalam kepungan. Korban pun berjatuhan, para prajurit dibawah pimpinan Ki Tumenggung Singaprana itu tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat menembus kepungan yang rapat itu.

“Dalam kesulitan yang semakin menekan itu, terdengar suara seseorang yang seolah-olah berkumandang memenuhi udara, “Sudahlah Ki Tumenggung Singaprana. Kau sebaiknya menyerah. Jangan kau korbankan prajurit-prajuritmu yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya tahu menjalankan perintahmu dan sedikit janji untuk menambah kesejahteraan mereka. Tetapi merekalah yang justru harus berkorban terlalu banyak”

“Bukan watakku untuk menyerahkan diri dihadapan musuh”

“Aku bangga dengan sikapmu itu. Sikap prajurit Mataram. Tetapi sikap itu baru dapat ditrapkan jika para prajurit Mataram itu sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit. Bukan pada saat prajurit Mataram itu merampok hak rakyat”

“Gila. Kau siapa, sehingga kau berani menilai tugas prajurit Mataram?”

“Aku disini, Ki Tumenggung Singaprana.”

Pertempuran pun tiba-tiba telah berhenti. Seorang diantara para prajurit yang dipimpin oleh Ki Rangga Kriyadipraja yang jumlahnya tidak begitu banyak itu melangkah maju, diikuti oleh dua orang yang lain”

Sambil menengadahkan wajahnya, prajurit itu pun bertanya, “Apakah kau sudah lupa kepadaku, Ki Tumenggung?”

Wajah Ki Tumenggung itu pun menjadi pucat. Orang itu dikenalnya dengan baik. Demikian pula dua orang yang berada di belakangnya.

“Raden Tumenggung Wreda Somadilaga. Ki Tumenggung Wiratama dan Ki Tumenggung Yudapangarsa”

Raden Tumenggung Wreda itu pun tertawa. Ia melangkah semakin maju kedepan sambil berkata, “Nah, ternyata nalarmu masih utuh Ki Tumenggung. Kau masih dapat mengenali aku, Ki Tumenggung Wiratama dan Ki Tumenggung Yudapangarsa”

“Jadi, jadi Raden Tumenggung tidak jadi berangkat ke Bang Wetan?”

“Tentu. Aku akan segera berangkat ke Bang Wetan. Tetapi aku menunggu saat keberangkatanku itu di sebuah padepokan yang sejuk dan tenang. Tetapi ternyata kau datang mengganggu kesejukan dan ketenangan itu”

“Tetapi, tetapi……”

“Ki Tumenggung Singaprana. Kau dan semua prajuritmu harus segera menyerah. Kalian semua ditangkap karena kalian telah melakukan perbuatan sewenang-wenang. Kalian telah menyalah gunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada kalian sebagai prajurit Mataram. Aku membawa pertanda kekuasaan dari Kangjeng Sinuhun di Mataram lewat Ki Patih yang memberikan wewenang kepadaku untuk melakukannya. Kejahatan yang kalian lakukan telah terdengar sampai ke tahta Kangjeng Sinuhun, sehingga Kangjeng Sinuhun menjadi sangat murka. Justru pada saat Mataram menghadapi tugas yang berat dalam perlawatan ke Timur, kalian telah menimbulkan persoalan yang gawat disini”

“Ampun, Raden Tumenggung Wreda. Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku hanya sekedar mencari celah-celah tugas besar Ki Tumenggung Yudapangarsa untuk menambah sedikit kesejahtaraan bagi prajurit-prajuritku”

“Kau masih mengatakan bahwa kau tidak bersalah”

“Ampun Raden Tumenggung Wreda”

“Jika kau tidak merasa bersalah dan berkeberatan untuk menyerah, maka kita akan melanjutkan pertempuran ini. Menurut penglihatanku, kau tidak akan dapat mengalahkan Ki Udyana yang ilmunya sudah tuntas. Demikian pula Ki Rangga Surawiraga tentu hanya akan menjadi bulan-bulanan lawannya yang masih terhitung muda itu, karena sebenarnyalah kemampuan mereka berdua terpaut banyak. Sebenarnyalah kalian telah membuat malu prajurit Mataram, karena Mataram yang Agung itu telah terpuruk disini, menghadapi para cantrik yang masih sangat muda dari sebuah padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Udyana”

Ki Tumenggung Singaprana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengerti, bahwa yang berada di arena pertempuran itu tentu tidak hanya Raden Tumenggung Wreda Somadilaga, Ki Tumenggung Wiratama, Ki Tumenggung Yudapangarsa dan Ki Rangga Kriyadipraja. Yang menebar diantara para cantrik itu pun tentu terdapat para prajurit Mataram yang telah dibawa oleh Raden Tumenggung Wreda Somadilaga. Itulah sebabnya maka seorang dari prajuritnya melihat bahwa diantara para cantrik itu terdapat pula prajurit mataram.

Ki Tumenggung Singaprana merasa dirinya terjebak. Ia tidak dapat mengelak lagi, karena ia telah tertangkap basah. Jika diantara mereka yang terluka dari kedua belah pihak itu adalah yang terbunuh, maka beban tanggung-jawabnya akan menjadi semakin berat.

Selagi Ki Tumenggung Singaprana termangu-mangu, maka Raden Tumenggung Wreda Somadilaga itu pun berkata pula, “Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Ki Tumenggung. Menurut pendapatku, sebaiknya Ki Tumenggung menyerah saja. Jika Ki Tumenggung tidak menyerah, maka pimpinan dari para prajurit Mataram akan aku ambil alih dari tangan Ki Rangga Kriyadipraja. Mungkin aku bukan seorang yang lunak seperti Ki Rangga yang terbiasa berada diantara benda-benda yang tertata dengan sentuhan-sentuhan keindahan yang harus ditangani dengan sabar. Tetapi aku adalah prajurit yang terbiasa berada di medan perang yang gemuruh oleh dentang senjata beradu. Kau tentu memahami maksudku Ki Tumenggung Singaprana, karena kau juga seorang prajurit”

Ki Tumenggung Singaprana tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian meletakkan senjata sambil berkata, “Aku menyerah Raden Tumenggung Wreda”

Demikianlah, maka para prajurit Mataram itu pun telah menyerahkan dirinya kepada Raden Tumenggung Wreda Somadilaga. Mereka pun mengerti, bahwa sebagian dari mereka yang disebut para cantrik itu adalah prajurit yang datang bersama Raden Tumenggung Wreda.

Raden Tumenggung Wreda pun kemudian telah memerintahkan para prajurit Mataram itu berbaris di pinggir jalan menghadap parit yang airnya mengalir bening. Mereka pun kemudian telah diikat tangannya di belakang tubuhnya. Kemudian mereka pun digiring ke padepokan untuk ditempatkan sementara sebelum mereka esok dibawa ke Mataram.

Sebenarnya Wikan agak berkeberatan. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Tempat yang paling dekat dari arena pertempuran adalah padepokannya dibanding dengan beberapa padukuhan yang ada disekitarnya.

Ki Udyana sendiri tidak memikirkan bahwa Wikan sebenarnya agak berkeberatan. Bukan karena mereka harus menyediakan makan dan minum bagi para tawanan, karena padepokan mereka mempunyai persediaan yang mencukupi. Tetapi yang dipikirkan Wikan adalah Tatag. Bagaimana ia harus mengatakan kepada Tatag tentang para prajurit yang diikat tangannya itu.

Sementara itu, para prajurit, baik yang berpihak kepada Ki Tumenggung Singaprana mau pun para prajurit yang berpihak kepada Raden Tumenggung Wreda Somadilaga, serta para cantrik yang terluka telah mendapat perawatan khusus di padepokan.

Namun yang membuat Ki Tumenggung Singaprana semakin gelisah adalah karena diantara para prajurit dan para cantrik yang terluka, terdapat beberapa orang prajurit dari kedua belah pihak serta para cantrik yang parah. Bahkan ada seorang prajurit yang berpihak kepada Ki Tumenggung Singaprana dan seorang prajurit Ki Rangga Kriyadipraja yang telah terbunuh di pertempuran itu.

Korban itu akan membuat pertanggung-jawaban Ki Tumenggung Singaprana menjadi semakin berat.

Dalam pada itu, sebenarnyalah keberadaan para tawanan itu dipadepokan membuat Tatag menjadi heran. Ia melihat beberapa orang yang tangannya terikat sebagian duduk di serambi bangunan utama padepokan itu, sedangkan yang lain berada di serambi gandok dan di sebuah barak di sebelah bangunan utama.

“Siapakah mereka, ayah?” bertanya Tatag yang sudah menjadi semakin besar. .

“Mereka adalah para prajurit Mataram yang telah melakukan kesalahan, Tatag. Prajurit yang telah mengingkari kewajibannya”

“Mereka telah ditangkap?”

“Ya. Mereka telah ditangkap untuk mempertanggung-jawabkan kesalahannya”

Tatag mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian Tatag pun pergi ke belakang.

“Tatag. Kau darimana?” bertanya ibunya.

“Aku baru saja berbicara dengan ayah”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Aku bertanya tentang orang-orang yang diikat itu. Menurut ayah, mereka adalah prajurit yang melakukan kesalahan. Mereka telah ditangkap untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan mereka”

“Ya. Mereka memang para prajurit yang bersalah. Mereka tidak menepati sumpahnya sebagai seorang prajurit. Karena itu, mereka telah ditangkap”

“Nampaknya mereka melawan, sehingga terjadi perang. Bukan begitu ibu? Bukankah ada diantara mereka yang terluka? Mereka dibaringkan di pendapa dan mendapat perawatan khusus”

“Ya, ngger. tetapi sudahlah. Mereka adalah urusan Raden Tumenggung Somadilaga”

“Apakah prajurit-prajurit yang ditangkap itu, mereka yang ingin mengambil tanah kita, ibu?”

“Ya. Mereka akan mengambil tanah kita dengan paksa. Untunglah rencana mereka dapat diketahui, sehingga Raden Tumenggung Wreda Somadilaga sempat menangkap basah mereka”

“Menangkap basah?”

“Maksudnya, menangkap pada saat mereka sedang melakukan kesalahan itu”

Tatag itu pun mengangguk-angguk. Namun ketika kemudian Tatag itu mau berlari, ibunya telah memanggilnya, “Tatag”

Tatag berhenti.

“Kau mau kemana?”

“Ke kandang, bu. Aku berjanji untuk berlomba lari hari ini”

“Berjanji dengan siapa?”

“Dengan anak kuda itu”

“Dengan anak kuda itu? Apakah ia mengerti, bahwa kau telah berjanji berlomba lari hari ini?”

“Ya. Tentu ia mengerti. Jika aku tidak datang, maka ia akan meledekku esok. Ia mengira aku takut. Padahal biasanya aku dapat berlari lebih cepat dari anak kuda itu”

Ibunya tidak mencegahnya lagi. Sementara itu Tatag pun segera berlari ke halaman belakang padepokannya.

Tanjung, yang telah beberapa lama mempelajari olah kanuragan dan bahkan dengan bekal kelebihannya ia sudah mampu memiliki berbagai unsur gerak yang rumit serta ketahanan tubuh yang tinggi, mereka kagum akan kelebihan anak laki-lakinya itu. Anak itu dapat berlari kencang sekali. Bahkan seandainya ia harus berlomba dengan para cantrik pemula yang masih belum mendalami ilmu tenaga dalam, maka Tatag tidak akan kalah.

Di halaman belakang, Tatag benar-benar telah berlari-lari bersama anak kuda yang dianggapnya sebagai kawan bertanding dalam kecepatan lari. Tetapi Tatag mempunyai kawan-kawan yang lain. Tatag mempunyai kawan bertanding dalam adu kekuatan. Sekali-sekali Tatag berkelahi dengan seekor anak lembu, atau anak seekor kerbau.

Namun sebenarnyalah bahwa Tatag lebih puas jika ia. bermain-main di hutan. Di hutan ia mempunyai banyak kawan dari berbagai jenis binatang.

Bukan hanya binatang yang berada di darat. Tetapi ia dapat memanjat pepohonan dan berayun pada sulur-sulur pepohonan dengan berbagai jenis kera. Dari kera yang besar sebesar Tatag sampai jenis-jenis kera yang kecil. Bahkan Tatag juga akrab dengan sejenis lutung. Kera yang berbulu hitam dan berekor panjang. Namun menurut Tatag, lutung tidak secerdas jenis-jenis kera yang lain.

Beberapa lama Tatag bermain bersama anak kuda di halaman belakang. Namun akhirnya ia menjadi jemu. Ditinggalkannya anak kuda itu, sementara bajunya telah basah kuyup oleh keringat.

Seperti biasanya, maka Tatag pun telah membuka bajunya dan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Sementara matahari pun sudah menjadi semakin rendah disisi Barat.

Tiba-tiba saja Tatag bangkit. Diikatkannya bajunya di lambungnya. Diam-diam Tatag pun kemudian pergi ke serambi untuk melihat para tawaran yang tangannya sedang diikat kembali setelah bergantian ikatan tangan mereka dibuka pada waktu makan.

Tiba-tiba saja Tatag berjongkok dihadapan seorang diantara para prajurit itu. Orang yang menurut Tatag memang agak berbeda dengan yang lain. Dan orang yang agak berbeda itu adalah Ki Tumenggung Singaprana, Ki Rangga Surawiraga dan Ki Panji Suranegara.

“Ada apa ngger?” bertanya Ki Tumenggung Singaprana.

“Tangan paman terikat?” bertanya Tatag.

“Ya. tanganku diikat oleh prajurit Mataram”

“Kenapa?”

“Entahlah. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja mereka mengikat tanganku”

“Bukankah kalian bersalah, “

“Kami tidak melakukan kesalahan apa-apa” desis Ki Tumenggung dengan suara yang lemah.

“Menurut ayah, kalian adalah prajurit-prajurit Mataram yang telah melakukan kesalahan. Kalian telah melanggar sumpah seorang prajurit”

“Siapakah ayahmu?”

“Wikan. Ayahku bernama Wikan”

Ki Rangga Surawiraga menggeram. Wikan adalah lawannya bertempur. Tetapi ia tidak dapat mengalahkannya. Bahkan semakin lama Wikan itu semakin menguasai arena, sehingga jika pertempuran itu berlangsung terus, ia tentu akan dikalahkannya.

“Jika saja tanganku tidak terikat di belakang punggungku. Aku tangkap anak itu. Anak itu akan dapat aku pergunakan untuk memaksa ayahnya melepaskan setidak-tidaknya kami bertiga” berkata Ki Rangga Surawiraga.

Ki Panji Suranegara pun menggeretakkan giginya pula. Matanya memandang Tatag yang berjongkok di hadapan Ki Tumenggung Singaprana itu dengan tajamnya. Namun Ki Tumenggung Singaprana sendiri masih saja tersenyum-senyum kepada anak itu.

“Siapa namamu, ngger. Apakah kau tadi sudah menyebutnya?”

“Namaku Tatag, paman”

“Nama yang bagus”

“Nama paman siapa?”

“Namaku Singaprana, ngger. Aku seorang Tumenggung”

“Tumenggung?”

“Ya. Tumenggung adalah pangkat yang tinggi”

Tatag mengangguk-angguk. Dipandanginya Ki Tumenggung Singaprana dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya.

“Tatag” berkata Ki Singaprana sambil tersenyum, “Bukankah kau anak pandai?”

Tatag memandang Ki Tumenggung dengan kerut di dahinya.

“Aku tidak bersalah ngger. Para prajurit Mataram itu keliru. Mereka seharusnya menangkap orang lain. bukan aku”“

Tatag masih terdiam sambil memandangi wajah Ki Tumenggung.

“Karena kau anak yang pandai, maka kau tentu dapat melepaskan tali ikatanku ini”

Tatag masih belum menyahut. Ia masih saja berjongkok dihadapan Ki Tumenggung Singaprana.

“Tatag” dengan sabar Ki Tumenggung itu pun mengulanginya, “Kau tahu bahwa aku tidak bersalah ngger. Karena itu, kau tentu mau melepaskan tali pengikat tanganku ini. Nanti aku akan menjelaskan kepada para prajurit Mataram itu, bahwa aku tidak bersalah, sehingga tidak seharusnya aku diikat disini”

Tatag masih saja berjongkok sambil berdiam diri.

“Mari ngger. Nanti aku akan memberimu hadiah yang sangat menarik”

Tetapi Tatag itu menggeleng sambil menjawab, “Nanti ayah akan marah kepadaku”

“Tidak. Ayahmu juga orang baik seperti kau. Ayahmu tentu tidak akan marah. Bahkan para prajurit Mataram itu juga tidak akan marah setelah aku menjelaskan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah”

Tatag terdiam lagi. Tetapi ia masih saja berjongkok.

“Marilah, ngger. Kau tentu dengan senang hati menolongku”

Tetapi Tatag itu menggeleng lagi.

“Kenapa kau tidak mau menolongku? Bukankah kau anak baik? Anak-anak yang jahat itu senang melihat orang-orang yang teraniaya seperti kami. Mereka justru akan tertawa-tawa sambil mengejek. Tetapi anak yang baik tidak akan berbuat seperti itu”

Tatag masih saja berjongkok sambil memandangi mulut Ki Tumenggung Singaprana.

Namun tiba-tiba saja Tatag itu pun bertanya, “Gigi paman ada yang bersusun?”

“Bocah edan” geram Ki Tumenggung Singaprana. Namun kemudian ia pun segera mampu mengekang dirinya. Sambil tersenyum ia pun berkata, “Ya. Gigi paman memang kurang rapi. Tetapi bukankah tidak berpengaruh apa-apa?”

“Apakah tidak sakit, paman?”

“Tentu tidak. Tidak terasa apa-apa“ Ki Tumenggung berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang lepaskan tali pengikat tangan paman ini”

Tetapi Tatag menggeleng sambil menjawab, “Nanti ayah marah sekali”

“Tidak. Ayahmu tidak akan marah”

“Jika demikian, aku akan mengatakannya kepada ayah, bahwa paman ingin tali pengikat tangan paman itu dilepas”

“Jangan. Kau tidak usah mengatakannya kepada siapa-siapa. Kau sendiri sajalah yang melepas taliku. Nanti aku akan memberimu hadiah yang sangat menyenangkan. Apa pun yang kau inginkan, aku akan dapat dengan segera memenuhinya. Aku adalah seorang ahli sihir yang tidak ada duanya di Mataram”

“Kenapa tidak kau sihir, agar talimu itu terlepas”

“Aku menyihir dengan telapak tanganku. Lihat saja nanti kalau ikatannya sudah dilepas”

“Kalau sudah dilepas?”

“Aku dapat membuat apa saja yang kau minta”

“Membuat binatang?”

“Kau suka binatang?”

“Aku memelihara banyak binatang. Ada kerbau, lembu, kambing, kuda, angsa, itik, ayam, burung”

“Ya, ya“ Ki Tumenggung Singaprana mulai kehilangan kesabarannya, “Aku dapat membuat binatang apa saja. Aku dapat membuat semut sampai gajah”

“Gajah? Kau dapat membuat gajah? Di hutan itu tidak ada gajah. Aku mengenal semua jenis binatang. Tetapi tidak ada gajahnya. Aku belum pernah melihat gajah kecuali membayangkannya kalau ayah dan ibu berceritera tentang binatang. Tetapi kalau kancil aku mengenalnya dengan baik”

“Jika kau lepaskan ikatan tanganku, aku akan membuat gajah untukmu. Gajah adalah binatang yang sangat besar”

Tatag tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih tetap berjongkok dihadapan Ki Tumenggung Singaprana dengan mulut yang sedikit terbuka.

Ki Tumenggung benar-benar kehilangan kesabarannya. Hampir saja ia membentak dan mengumpati anak yang sangat mnjengkelkan itu. Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara seorang perempuan Tatag, Tatag. Kau dimana?”

Tatag mengangkat wajahnya sambil menjawab, “Aku disini bu”

“Siapa yang memanggilmu?” bertanya Ki Tumenggung Singaprana.

“Ibu”

“Siapa nama ibumu?”

“Tanjung”

Ki Tumenggung tidak sempat bertanya lagi. Ia melihat seorang perempuan mendatangi Tatag sambil berkat, “Apa yang kau lakukan disitu?”

“Nonton paman yang diikat tangannya” jawab Tatag.

“Aku cekik lehermu nanti” geram Ki Rangga Surawiraga.

Tatag berpaling kepadanya. Nampak dahinya berkerut. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi takut melihat wajah Ki Rangga yang menjadi merah. Bahkan Tatag itu pun sempat bertanya, “Kenapa paman tiba-tiba marah?”

Tetapi sebelum Ki Rangga Surawiraga menjawab, Tanjung sudah menarik tangannya sambil berakata, “Jangan berada disini. Ini bukan tempat untuk bermain”

Tanjung pun kemudian telah menarik Tatag dan mengajaknya pergi. Kepada yang bertugas berjaga-jaga di depan pintu serambi”

Penjaga itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak melihat, kapan anak itu masuk”

“Kau memang nakal Tatag. Ada banyak tempat bermain. Kenapa kau bermain di dalam serambi?”

“Aku tidak bermain di serambi ibu. Tetapi aku berbicang-bicang dengan paman yang ada di ujung”

“Apa yang dikatakannya?”

“Paman yang ada di ujung itu ternyata seorang tukang sihir. Ia dapat menyihir apa saja. Ia dapat menghadirkan apa saja yang diinginkannya”

“Apakah ia menunjukkan kepadamu kepandaiannya itu?

“Ia sanggup menghadirkan seekor gajah, ibu”

“Apakah ia benar-benar malakukannya?”

“Ia dapat menyihir dengan mempergunakan telapak tangannya”

“Karena itu, maka untuk menghadirkan seekor gajah, maka ikatan tangannya harus kau lepas, begitu?”

“Ya”

Tanjung berhenti. Ia pun kemudian berjongkok di depan anaknya. Sambil memegangi kedua lengan anaknya, Tanjung bertanya, “Apakah kau telah melepaskan ikatannya itu?”

Tatag menggeleng sambil menjawab, “Tidak ibu. Aku tidak melepaskan ikatan tangannya. Aku takut kalau ayah menjadi marah kepadaku”

“Bagus, Tatag. Tetapi bukankah kau benar-benar tidak melepaskan ikatannya?”

“Benar ibu”

Tanjung menarik nafas panjang. Ia pun kemudian menggandeng Tatag pergi kebelakang menemui Wikan. Seperti kepada ibunya, Tatag pun berceritera tentang orang yang duduk di ujung. Tatag pun mengatakan kepada Wikan, bahwa ia tidak melepas tali pengikat tangan orang itu.

“Orang itu memang minta aku melepaskan ikatannya, ayah. Tetapi aku tidak mau”

“Kau anak pintar. Tetapi apakah kau juga tidak berbaju ketika kau berbicara dengan meraka?”

“Ya. Udara terasa panas sekali. Bajuku sudah basah oleh keringat”

“Tetapi lain kali kau tidak boleh melakukannya. Dihadapan orang lain, maksudku bukan penghuni padepokan ini, kau harus memakai banjumu”

“Kenapa ayah?”

“Kau harus belajar unggah-ungguh. Kau harus menghormati orang lain, agar kau tidak dikatakan tidak tahu sopan santun”

Tatag mengangguk sambil menjawab, “Ya, ayah”

“Nah, sekarang waktunya mandi. Sebentar lagi langit akan menjadi merah”

Tatag pun kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi. Sebentar lagi, senja sudah akan turun.

Dalam pada itu, di serambi Ki Rangga Surawiraga meng-umpat-umpat kasar. Dengan geram ia pun berkata, “Jika aku mempunyai kesempatan, aku akan mencekik anak itu”

Tetapi Ki Tumenggung berkata, “Apa alahnya anak itu, Ki Rangga. Jika kau dikalahkan oleh ayahnya, kau tidak perlu mendedam kepada anaknya. Bukankah anak itu tidak tahu apa-apa?”

“Tetapi rasa-rasanya anak itu sengaja mengejek kita”

“Itu hanya perasaanmu saja, Ki Rangga”

“Bahkan anak itu telah menunjuk cacat pada gigi Ki Tumeng-gung sendiri”

Tetapi Ki Tumenggung itu justru tersenyum. Meskipun terasa senyumnya hambar. Katanya, “Itulah ciri anak-anak. Jika yang datang kepada kita bukan kanak-kanak, ia tidak akan menunjuk mulutku dan mengatakan bahwa gigiku bersusun”

“Tetapi kita harus berusaha melepaskan diri dari ikatan ini”

“Itu akan sia-sia saja, Ki Rangga. Tali yang dipergunakan untuk mengikat kita adalah tali ijuk yang sangat kuat.

Selain kuat, ujung serat ijuk itu terasa tajam di kulit kita. Jika kita memaksa, maka bukan tali ijuknya yang terurai, apalagi putus, tetapi tangan kitalah yang akan terluka. Sementara itu, diluar pintu itu ada beberapa orang petugas yang menjaga kita. Mereka tentu gabungan dari para prajurit Mataram dengan para cantrik dari padepokan terkutuk ini”

Sementara itu tiba-tiba Ki Panji Suranegara itu pun menggeram, “Pada saatnya, kapan pun juga kesempatan itu datang, aku akan menjadikan padepokan ini karang abang”

“Kapan kesempatan itu akan datang kepadaku. Aku tidak tahu. Tetapi kapan saja. Mungkin aku akan ikut menjalani hukuman meskipun segala sesuatunya seharusnya dipertanggung-jawabkan oleh Ki Tumenggung Singaprana”

Ki Tumenggung Singaprana itu pun tertawa pendek sambil berkata, “Kau akan menumpukkan segala kesalahan kepadaku? Sementara itu, kau mengharapkan pembagian rejeki yang akan kita dapat bersama-sama lebih dari yang lain”

Ki Panji tidak menjawab. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku akan tidur saja”

Ki Tumenggung tertawa pula. Namun kemudian ia pun bertanya kepada Ki Rangga Surawiraga, “Ki Rangga. Kau lihat ada noda hitam di dada anak itu?”

“Noda hitam?”

“Ya”

“Aku tidak begitu menghiraukannya. Kenapa dengan noda hitam itu?”

“Tidak apa-apa. Toh seperti yang terdapat di dada anak itu, dapat saja melekat di punggung, di bahu, di lengan dan bahkan di pipi”

“Ya. Aku mempunyai tetangga yang toh hitam seperti itu melekat di dekat hidungnya. Untung, ia seorang laki-laki. Jika ia seorang perempuan, maka toh itu akan merupakan noda di wajahnya”

Ki Panji Suranegara yang sudah memejamkan matanya sambil bersandar dinding itu masih sempat memotong, “Kalian masih juga sempat berbicara tentang noda hitam di dada anak itu. Apa pentingnya berbicara tentang toh seperti itu. Tidurlah. Suara kalian membuat aku tidak dapat tidur”

Bukan hanya Ki Tumenggung saja yang tertawa. Tetapi Ki Rangga pun tertawa pula. Agaknya kemarahan yang menghentak-hentak di dada Ki Panji telah membuatnya mudah sekali merasa terganggu dan bahkan tersinggung.

Namun Ki Tumenggung dan Ki Rangga Surawiraga tidak berbicara apa-apa lagi. Mereka pun terdiam sambil merenungi nasib buruk mereka. Mereka sadari bahwa Ki Tumenggung Yudapangarsa tentu telah mendapat laporan dari Ki Rangga Kriyadipraja. Kemudian mereka membuat jebakan atas ijin Raden Tumenggung Wreda Somadilaga yang ternyata masih sempat mengurusi persoalan-persoalan kecil yang terjadi di Mataram.

Sebenarnyalah bahwa para tawanan itu tidak mempunyai kesempatan dan kemungkinan untuk berusaha melarikan diri. Selain mereka terikat, mereka pun di jaga dengan ketat oleh para prajurit Mataram yang semula berada diantara para cantrik. Namun yang kemudian telah mengenakan pakaian serta ciri-ciri keprajuritan mereka.

Setelah semalam bermalam di padepokan, maka di pagi harinya, Raden Tumenggung Somadilaga telah siap bersama pasukannya untuk menggiring para tawanan itu ke Mataram.

Ki Tumenggung Singaprana itu pun telah minta waktu untuk dapat berbicara dengan Raden Tumenggung Wreda Somadilaga.

“Ada apa Ki Tumenggung?” bertanya Raden Tumenggung Wreda Somadilaga.

“Aku mempunyai satu permohonan, Raden Tumenggung”

“Permohonan apa?” bertanya Raden Tumenggung Wreda.

“Aku mohon bahwa sebaiknya kita memasuki Kota Raja setelah malam hari”

Raden Tumenggung Wreda menarik nafas panjang. Namun ia dapat mengerti maksud permohonan Ki Tumenggung Singa-prana. Ki Tumenggung tentu merasa sangat malu jika ia digiring bersama prajurit-prajuritmnya lewat jalan-jalan utama di Mataram.

Karena itu, maka Raden Tumenggung itu pun mengangguk sambil menjawab, “Aku mengerti Ki Tumenggung. Aku berjanji, bahwa aku akan membawa Ki Tumenggung memasuki pintu gerbang kota di malam hari”

“Terima kasih Raden Tumenggung. Tetapi perkenankanlah aku bertanya, di saat-saat Mataram menghadapi persoalan yang besar menjelang perlawatan ke Timur, Raden Tumenggung masih sempat memikirkan rakyat Randu Batang, Kasinungan, Kembang Arum dan padepokan itu”

“Tentu, Ki Tumenggung. Pada saat seseorang sibuk memikir-kan peristiwa besar, misalnya menikahkan anak sulungnya, maka ia masih juga sempat memperhatikan anak bungsunya yang menangis karena kakinya tertusuk duri. Ia masih juga berusaha mencabut duri itu dan kemudian menenangkannya agar anak itu tidak menangis lagi. Sementara itu persoalan besar yang dihadapinya tidak diabaikannya”

Ki Tumenggung Singaprana menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Raden Tumenggung Wreda itu jelas baginya. Agaknya sikap seperti itulah yang telah dilupakakannya, sehingga ia mengira, bahwa karena Mataram tengah terlibat dalam persoalan yang besar dengan persiapan untuk melawat ke Timur, maka Mataram tidak akan sempat memperhatikan persoalan-persoalan kecil yang terjadi di Mataram itu sendiri.

Pagi itu, Raden Tumenggung Wreda Somadilaga, Ki Tumeng-gung Wiratama dan Ki Tumenggung Yudapangarsa telah minta diri untuk kembali ke Mataram bersama pasukannya yang telah disusupkan diantara para cantrik padepokan itu untuk menjebak dan seterusnya menangkap basah Ki Tumenggung Singaprana dengan para pengikutnya. Sementara itu, Ki Rangga Kriyadipraja dengan beberapa orang prajuritnya masih akan tinggal untuk sehari itu di padepokan sebelum mereka kembali ke Kembangarum. Mereka masih harus menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut para prajurit yang terluka. Sedangkan prajurit yang gugur akan dibawa kembali ke Mataram bersama dengan para prajurit yang akan membawa tawanannya.

Sepeninggal para prajurit Mataram, maka padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu menjadi lebih sepi. Yang tinggal hanyalah beberapa orang prajurit di bawah pimpinan Ki Rangga Kriyadipraja yang pada hari itu akan menyelesaikan tugas mereka, sehingga esok pagi, padepokan itu benar-benar akan menjadi lebih sepi lagi. Suasananya akan kembali seperti sediakala. Namun para cantrik justru harus bekerja lebih keras.

Demikianlah dikeesokan harinya, Ki Rangga Kriyadipraja telah selesai dengan tugas-tugasnya. Karena itu, maka Ki Rangga pun telah minta diri pula kembali ke Kembangarum. Beberapa orang prajurit akan tetap tinggal bersama Ki Rangga di Kembangarum untuk melaksanakan tugas yang harus segera mereka lakukan.

Namun Ki Rangga Kriyadipraja sudah mendapat isyarat, bahwa pembangunan pesanggrahan itu akan dimulai setelah prajurit Mataram berangkat melawat ke Timur.

Sepeninggal Ki Rangga Kriyadipraja, maka para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu pun harus bekerja keras untuk memulihkan tanaman-tanaman mereka yang rusak karena terinjak-injak pada saat pertempuran terjadi. Satu lingkungan yang agak luas, menjadi porak peronda. Namun papan-papan yang ditanam dengan tulisan bahwa tanah itu adalah milik padepokan, sebagian besar masih tetap ada di tempatnya.

Tulisan-tulisan pada papan-papan yang masih ada di tengah-tengah kotak-kotak sawah itulah yang telah menyentuh perasaan para cantrik, sehingga mereka tergugah untuk bekerja lebih keras lagi. Setelah mereka berhasil mempertahankan hak mereka, maka mereka pun merasa wajib untuk menghijaukan kembali sawah-sawah mereka yang telah terinjak-injak kaki.

Dalam pada itu, di Mataram, Raden Tumenggung Wreda Somadilaga telah menepati janjinya. Ia membawa tawanannya memasuki pintu gerbang di tengah malam, pada saat penghuni Kotaraja itu sedang tidur lelap, sehingga hampir tidak ada orang yang telah melihatnya.

Ki Tumenggung Singaprana pun mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kesediaan Raden Tumenggung Wreda Somadilaga memenuhi permohonannya.

“Raden Tumenggung telah menyelamatkan namaku. Bagiku apa yang Raden Tumenggung lakukan atas kami, para tawanan itu, lebih berharga daripada segala macam ampunan atas kesalahan yang pernah kami lakukan. Raden Tumenggung telah melepaskan kami dari kehinaan yang tidak ada taranya. Seandainya Raden Tumenggung membawa kami memasuki pintu gerbang kota di siang atau di sore hari, sehingga rakyat Mataram berduyun-duyun turun ke jalan untuk menyaksikan kami yang terikat, maka aku akan mengalami satu peristiwa yang lebih pahit daripada mati”

“Sudahlah. Bagaimanapun kita masih mempunyai jantung. Namun aku tidak dapat berbuat lebih daripada itu”

“Aku mengerti Raden Tumenggung Wreda Somadilaga. Apa yang Raden Tumengggung lakukan itu sudah lebih dari cukup. Kami mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga”

Ternyata yang kemudian diajukan para perdata di Mataram, hanyalah tiga orang saja. Ki Tumenggung Singaprana, Ki Rangga Surawiraga dan Ki Panji Suranegara. Sementara itu perintah bagi para prajurit yang berada dibawah perintah dari ketiga orang itu, mereka akan bergabung dengan para prajurit yang akan melawat ke Timur. Namun mereka akan disebar dalam kesatuan-kesatuan yang berbeda-beda.

Dalam pada itu, pada saat Mataram bersiap-siap untuk berangkat ke Timur, para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu mulai menanami kembali untuk menggantikan tanaman mereka yang rusak. Namun mereka harus menyesuaikan jenis tanaman mereka dengan musim, yang sudah lewat beberapa lama dari musim tanam padi.

Ki Udyana dan para cantrik telah memutuskan untuk menanam padi genjah untuk mengejar waktu, agar tanamannya tidak mengalami kekeringan di musim kemarau.

Meskipun air di parit tetap mengalir, tetapi arusnyatidakiakan melimpah sebagaimana jika hujan masih sering turun.

Namun dalam pada itu, ternyata apa yang dilihat oleh Tatag di serambi bangunan utama padepokan itu masih saja membekas di kepalanya. Kadang-kadang ia masih juga bertanya tentang para prajurit yang tangannya telah diikat.

“Kenapa prajurit itu tangannya diikat, ayah?”

“Sudah berapa kali ayah katakan, bahwa prajurit itu ditangkap dan kemudian diikat tangannya, karena mereka telah melakukan kesalahan.

“Apakah prajurit itu dapat berbuat salah?”

“Jika prajurit itu tidak menepati kewajibannya, maka ia telah melakukan kesalahan. Jika prajurit-prajurit itu menyalahguna-kan wewenangnya, maka ia pun telah melakukan kesalahan”

Tatag nampak berpikir. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah yang ayah maksudkan dengan tidak menepati kewajibannya serta menyalahgunakan wewenangnya?”

Wikan menarik nafas panjang. Memang agak sulit menjawab pertanyaan Tatag sehingga Tatag yang masih kecil itu dapat mengerti.

Karena ayahnya tidak segera menjawab, maka Tatag pun bertanya, “Apakah sebenarnya kewajiban seorang prajurit, ayah?”

“Banyak Tatag” jawab ayahnya dengan hati-hati, “antara lain melindungi rakyat dari segala macam gangguan sehingga rakyat merasa tenang dan damai. Memelihara persatuan dan kesatuan. Bersikap jujur dan berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Sebenarnya masih banyak kewajiban yang diemban oleh prajurit. Sehingga dengan demikian kewajiban seorang prajurit memang sangat berat”

“Lalu yang ayah maksud menyalahgunakan wewenang?”

Wikan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian masih dengan sangat berhati-hati ia pun berkata, “Antara lain prajurit yang seharusnya melindungi rakyat itu justru menakut-nakuti rakyat. Menyebarkan kebencian dan memecah belah persatuan. Merusak suasana yang sudah baik dan benar. Mengatakan yang bersalah itu benar dan yang benar itu bersalah”

“Lalu kesalahan yang manakah yang telah dilakukan oleh para prajurit yang diikat tangannya itu ayah?”

Pertanyaan itu justru harus dijawab oleh Wikan, agar Tatag tidak menduga-duga. Jika pertanyaan itu tidak terjawab, maka Tatag akan mencari jawabnya sendiri menurut jalan pikiran dan bahkan perasaannya.

“Tatag. Para prajurit yang tangannya diikat itu telah menyalahgunakan wewenangnya. Ia tidak melindungi rakyat, tetapi justru menakut-nakuti. Mereka mempergunakan pengaruhnya untuk merampas tanah kita. Sedangkan kita adalah rakyat Mataram. Nah, untunglah bahwa selain prajurit-prajurit yang bersalah, telah datang pula prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang menepati kewajibannya dan tidak menyalahgunakan wewenangnya. Prajurit-prajurit yang baik itulah yang kemudian menangkap prajurit-prajurit yang telah bersalah itu”

Tatag mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Tatag itu bertanya, “Jika dalam pertempuran yang terjadi, prajurit-prajurit yang bersalah itu yang menang, apakah yang akan terjadi, ayah?”

Punggung Wikan telah basah oleh keringat, pertanyaan anaknya itu membuatnya menjadi berdebar-debar. Namun Wikan berusaha untuk dapat menjawab, “Tatag. Bukankah kita percaya kepada Tuhan dan kekuatannya di atas segala Kekuatan. Seandainya yang bersalah itu menang terhadap yang baik, maka hal itu masih akan berkelanjutan. Kemenangan itu hanya bersifat sementara, karena akhirnya yang baik dan yang benar itulah yang akan menang”

“Kalau yang baik dan benar itu sudah terlanjur mati?”

Wikan mengerutkan dahinya. Anak ini sudah bertanya terlalu jauh. Tetapi justru karena itu, maka sedapat-dapatnya Wikan harus menjawab, “Kematian bukan akhir dari segala-galanya, Tatag. Pada saatnya nanti, orang yang bersalah itu pun akan mati. Mungkin dalam pertempuran, mungkin karena ia sudah tua dan tidak mampu lagi mengatasi batas umurnya. Nah, keadilan itu akhirnya akan datang juga”

Tatag terdiam. Sementara itu Wikan pun menjadi semakin berdebar-debar. Wikan menjadi cemas kalau Tatag itu bertanya, seandainya orang yang bersalah itu tidak percaya akan pengadilan setelah mereka mati.

Wikan menarik nafas panjang. Tatag tidak bertanya lebih jauh. Tetapi Wikan sudah menyediakan jawabnya, “Mungkin orang-orang yang sengaja melakukan kesalahan itu memang tidak percaya akan pengadilan di hidupnya yang langgeng. Tetapi ketidak percayaan mereka bukan berarti dapat menghentikan pengadilan itu sendiri. Pengadilan yang sempurna itu akan tetap berlangsung, percaya atau tidak percaya”

Wikan termangu-mangu sejenak melihat wajah Tatag. Dahinya berkerut. Nampaknya anak itu mencoba berpikir. Namun akhirnya Tatag itu pun bangkit berdiri. Ia teringat sesuatu. Gerobag kecilnya yang tercebur ke belumbang. Gerobagnya yang biasanya ditarik oleh seekor kambing yang besar. Namun pada saat ia menyeret gerobag itu di pinggir kolam untuk dibawa ke kandang kambingnya, gerobag itu tergelincir dan masuk ke dalam kolam. Sebenarnya Tatag ingin minta tolong ayahnya untuk menarik gerobagnya. Namun ketika ia melewati serambi tiba-tiba saja ia teringat kepada para prajurit yang tangannya diikat dengan tali ijuk.

“Ada apa Tatag?” bertanya Wikan yang tidak tahu apa yang terlintas di kepala kecil itu.

“Ayah. Gerobagku tercebur ke dalam kolam. Tolong aku menarik gerobag itu ayah”

Wikan menarik nafas panjang.

“Marilah” berkata Wikan sambil bangkit berdiri pula.

Tatag pun kemudian berlari ke kebun di belakang padepokan.

“Pertanyaan anak itu aneh-aneh saja, kakang” desis Tanjung, “Jika ia bertanya kepadaku, mungkin tidak dapat menjelaskan-nya”

“Kita memartg harus berhati-hati menanggapi pertanyaan-pertanyaannya”

Wikan pun kemudian telah pergi ke kebun pula menyusul Tatag.

Di halaman samping Wikan bertemu dengan dua orang cantrik yang akan membersihkan bagian belakang lumbung padi yang padinya baru dijemur.

“Ikut aku dan bawa tali. Gerobag kecil Tatag tercebur di kolam”

Kedua orang cantrik itu pun telah mengambil tali yang agak panjang. Mereka pun kemudian pergi ke kolam.

Ketika Wikan sampai di kolam, Tatag sudah berada di pinggir kolam sambil berjongkok. Demikian Wikan datang, maka Tatag itu pun berkata, “Itu gerobagku ayah”

“Nah, sekarang bagaimana menarik gerobag itu” Tatag berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri. Ketika ia mulai beranjak untuk berlari, ayahnya bertanya, “Kau akan pergi kemana?”

“Mencari tali ayah. Kita harus menarik gerobag itu dari atas. Itu akan lebih mudah daripada kita mendorongnya sambil mencebur ke dalam kolam”

“Kenapa kau tidak membawa tali?”

“Aku tadi belum berpikir, bagaimana menaikkan gerobag itu”

“Tunggu saja. Aku sudah minta dua orang cantrik untuk membantu menarik gerobag itu sambil membawa tali”

Tatag mengangguk-angguk. Seharusnya sejak awal ia sudah berpikir, bagaimana caranya mengangkat gerobag itu dari dalam air di kolam itu.

Sejenak kemudian maka dua orang cantrik pun telah datang sambil membawa tali ijuk. Dengan tali ijuk itu, maka bagian depan gerobag kecil itu pun dijerat oleh salah seorang cantrik itu, kemudian bersama-sama dibantu oleh Tatag mereka menarik gerobag itu dari dalam kolam.

Sejenak kemudian, gerobag itu sudah berada di pinggir kolam. Basah dan kotor oleh lumpur.

“Aku akan membawanya ke parit, ayah”

“Untuk apa?”

“Bukankah gerobag itu harus dimandikan?” Wikan mengangguk-angguk. Ketika kedua orang cantrik itu akan membantunya, maka Tatag pun berkata, “Aku dapat melakukannya sendiri”

Wikan pun memberi isyarat kepada kedua orang cantrik itu, agar mereka membiarkan Tatag melakukannya sendiri.

Tatag pun kemudian menarik gerobagnya ke pinggir parit yang mengaliri air ke belumbang di kebun belakang itu. Kemudian Tatag pun menyingsingkan celananya. Dengan tanpa mengenakan baju, Tatag pun kemudian mencuri gerobagnya.

Wikan melihat toh hitam di dada Tatag itu dengan jantung yang berdebar-debar. Wikan sendiri kadang-kadang merasa heran, kenapa ia merasa sangat gelisah dengan toh hitam di dada anak itu.

Sebenarnyalah Wikan memang merasa cemas, bahwa pada suatu saat, ada orang yang dapat mengenali anak itu. Ada orang yang merasa bahwa ia mempunyai seorang anak dengan ciri sebagaimana terdapat di dada Tatag. Sementara itu, Tatag mempunyai kebiasaan membuka bajunya. Bahkan dimana-mana. Setiap kali Wikan telah memperingatkannya agar Tatag tidak sering membuka bajunya. Apalagi kalau ada orang lain. Orang dari luar padepokannya.

Tetapi kadang-kadang Tatag lupa. Atau pada saat ia tidak memakai baju ia datang kepada orang lain itu.

Setiap kali Wikan telah mengatakannya kepada Tanjung, agar anaknya jangan membuka bajunya dihadapan orang lain. Jika pada suatu saat, ada orang yang mencari anaknya dengan ciri-ciri khusus sebagaimana terdapat di dada Tatag, maka dapat saja orang itu berusaha dengan segala cara untuk mengambilnya.

“Tetapi orang tuanya yang sesungguhnya sudah tidak menghendakinya” berkata Tanjung, “ternyata ia telah diletakkan di depan pintu rumahku”

“Mungkin pada waktu itu. Tetapi kalau dalam perkembangan selanjutnya orang itu berubah pikiran atau bahkan menyesali perbuatannya?”

“Kita dapat mengatakan bahwa anak itu adalah anak kita. Anak yang aku lahirkan sendiri. Bukankah seisi padepokan ini, kecuali paman dan bibi Udyana menganggap bahwa anak itu adalah anak yang aku lahirkan. Sebelum kita menikah, aku sudah mempunyai anak itu”

Wikan mencoba mengingat-ingat. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Tetapi mungkin saja ada diantara mereka yang mengetahui, bahwa anak kita adalah anak angkat”

“Katakan, bahwa ada salah seorang saudara kita yang mengetahuinya, namun mereka adalah keluarga kita. Mereka tentu tidak akan mengatakan kepada orang lain, bahwa anak itu bukan anak kita”

Wikan mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya ada saja orang yang mengintip noda hitam di dada Tatag itu.

Demikianlah, Tatag masih saja sangat menarik perhatian seisi padepokan. Termasuk Ki Udyana, Nyi Udyana serta ayah dan ibunya sendiri. Kebiasaannya pergi ke hutan masih saja dilakukannya. Tatag seakan-akan dapat menjalin persahabatan dengan bergagai jenis binatang, kecuali dengan ular dan buaya. Tatag sendiri tidak tahu, kenapa ia merasa tidak terlalu dekat dengan ular dan buaya, meskipun setiap kali Tatag juga bertemu dengan ular dan sekali-sekali dengan buaya jika ia pergi ke kedung ditikungan sungai.

Dalam pada itu, segerombolan kera telah membawa Tatag ke sebuah gerumbul yang sangat banyak di huni oleh ular. Dalam gerumbul terdapat berbagai pohon perdu yang berduri.

Semula Tatag tidak tahu, apakah maksud segerombolan kera itu menunjukkan gerumbul perdu liar di tengah-tengah hutan yang sangat lebat itu kepadanya. Namun akhirnya Tatag tahu, bahwa duri-duri batang perdu di gerumbul itu ternyata mengandung bisa yang sangat tajam.

Tetapi gerombolan kera yang bentuknya agak garang dengan bulu-bulu di lehernya serta ukuran tubuhnya yang besar itu, setiap kali mencoba menunjukkan kepada Tatag sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.

Satu kali, seekor kera yang terhitung tua dengan ukuran tubuh yang besar itu menunjukkan kepadanya, seekor kijang yang terkapar mati tidak jauh dari gerumbul itu. Kera itu menunjukkan bekas-bekas luka goresan pada tubuh kijang itu. Kemudian kera tua itu menunjukkan sebatang ranting gerumbul berduri. Sehingga Tatag mengetahui, bahwa kera itu ingin menjelaskan bahwa kijang itu mati karena tergores duri yang terdapat pada gerumbul liar yang menjadi sarang ular itu.

Tetapi kera itu kemudian menusuk kawannya yang lebih muda dengan duri itu. Kemudian kera itu memberikan selembar daun kepada kawannya yang ditusuknya.

Ternyata kera yang makan selembar daun itu tidak apa-apa. Ia tidak mengalami sesuatu oleh bisa yang menyengatnya.

Akhirnya dengan berbagai isyarat oleh kera-kera yang nampak menakutkan serta hidup dalam kelompok-kelompok yang besar yang mempunyai keterkaitan yang sangat kuat yang satu dengan yang lainnya itu, Tatag mengetahui bahwa tidak jauh dari gerumbul yang menjadi sarang ular itu, terdapat sebatang pohon yang dapat menawarkan bisa.

“Terima kasih” berkata Tatag kepada kera tua yang berusaha keras memberitahukan kepadanya itu.

Ketika kemudian Tatag pulang, maka ia telah membawa beberapa helai daun pohon itu.

Di padepokan Tatag pun berceritera tentang segerombolan kera yang memberitahukan kepadanya, bahwa daun itu dapat melawan bisa ular yang sangat tajam.

“Kau berkata sebenarnya Tatag?” bertanya ayahnya.

“Tentu ayah. Aku melihat, bagaimana kera itu menusuk kawannya dengan duri beracun. Tetapi setelah makan daun ini, kawannya sama sekali tidak terkena akibat racun itu”

Ki Udyana pun tertarik pada penemuan cucunya itu. Tetapi Ki Udyana tidak segera mempercayainya begitu saja. Dihari-hari berikutnya, Ki Udyana telah mengadakan berbagai macam percobaan dengan seekor tikus sawah yang besar, yang berhasil di tangkapnya.

Akhirnya, Ki Udyana pun meyakini, bahwa daun itu memang merupakan daun yang mengandung penawar bisa yang sangat tajam sekalipun. Bahkan dengan warangan dan berbagai macam racun timbuh-tumbuhan yang dikenal oleh Ki Udyana yang mempelajari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai obat serta yang mengandung racun, akhirnya Ki Udyana pun meyakini pula bahwa daun yang dibawa oleh Tatag itu dapat melawan bisa dan racun yang tajam sekalipun.

Beberapa hari kemudian, kera-kera itu tidak saja memberikan beberapa lembar daun kepada Tatag, tetapi kera-kera itu telah membawa sepotong dahan dan diberikannya kepada Tatag.

Tatag memang tidak tahu maksud kera-kera itu. Tetapi Wikan menduga, bahwa kera-kera itu bermaksud mengatakan, bahwa sepotong dahan itu dapat ditanam dipadepokan.

Ternyata dugaan Wikan benar. Sepotong dahan itu pun kemudian di tanam di antara bebagai macam tanaman yang dapat diramu menjadi obat-obatan. Baik daunnya, batangnya, kulit batangnya, akarnya atau buah dan bunganya. Ternyata dahan itu dapat besemi dan tumbuh dengan suburnya.

“Bagaimana kera-kera itu tahu, bahwa daun itu dapat dipergunakan sebagai obat, ayah?” bertanya Tatag pada suatu malam sebelum Tatag tertidur.

“Kera itu telah mengamati pohon itu untuk waktu yang lama, Tatag. Kera-kera itu melihat binatang-binatang yang mati tergores duri yang ada di gerumbul sarang ular itu. Tetapi kera-kera itu juga melihat, bahwa binatang-binatang yang tergores oleh duri beracun, namun kemudian secara kebetulan m akan daun dari pohon itu, binatang itu pun tidak mati. Mungkin kera-kera itu telah melakukan pengamatan bertahun-tahun sengaja atau tidak sengaja, sehingga akhirnya secara naluriah kera-kera itu tahu, bahwa daun itu dapat menawarkan bisa dan racun”

Tatag mengangguk-angguk, sebelum tidur Tatag masih sempat berceritera tentang kera-kera besar yang menakutkan yang hidup dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa puluh ekor kera. Di hutan itu jenis kera-kera itu terhitung binatang yang ditakuti. Mungkin karena ujudnya yang menakutkan, atau kesetiakawanan mereka yang sangat tinggi.

“Tetapi sebenarnya kera-kera itu baik hati, ayah. Keluarga mereka adalah keluarga yang damai. Jika tidak diusik, kera-kera itu tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika sekelompok kera itu marah, maka seisi hutan akan menjadi gemetar. Bahkan seekor harimau loreng pun akan memilih menghindar.

Wikan mengangguk-angguk. Namun sekali-sekali Wikan juga bertanya tentang keadaan hutan itu. Dan bahkan Wikan masih tetap menasehati Wikan, agar tidak pergi ke hutan.

“Jika aku tidak sekali-sekali pergi ke hutan, binatang-binatang itu akan lupa kepadaku. Sementara itu, binatang-binatang hutan itu sudah merupakan sahabat baikku. Bahkan anjing-anjing liar yang jumlahnya banyak sekali itu tidak akan menyerangku, ayah”

“Tetapi anjing-anjing liar itu sangat berbahaya Wikan”

“Aku pernah berada diantara mereka. Seperti aku pernah menolong anak harimau itu, aku pun pernah menolong anak anjing liar yang terperosok ke dalam kedung ditikungan sungai. Hampir saja anak anjing itu di telan buaya. Untung aku dapat menggapainya dan menariknya ke tepi.

“Itu berbahaya sekali, Tatag. Buaya itu sangat berbahaya bagimu. Ia akan dapat mengejarmu, tidak hanya di air, tetapi juga didarat”

“Buaya itu tidak akanberani naik ke darat ayah. Puluhan anjing liar sudah menunggunya di darat. Jika buaya itu naik, maka anjing-anjing liar yang ganas dan rata-rata bertubuh besar itu akan mengkoyak-koyaknya”

Wikan menarik nafas panjang. Tidak ada yang dapat menjamin, bahwa anjing-anjing liar itu tidak akan menyerang Tatag pada suatu saat.

Tetapi setiap kali Tatag selalu mengatakan, bahwa binatang itu tidak akan mengganggunya jika ia tidak mengganggu mereka lebih dahulu”

“Jika seekor harimau menjadi sangat lapar dan tidak dapat memburu kijang lagi, maka harimau itu menjadi sangat berbahaya bagimu”

“Jika harimau itu akan menerkam aku ayah, maka harimau yang lain akan mencegahnya. Atau mungkin binatang yang lain. Mungkin kera-kera yang besar itu, atau mungkin anjing-anjing liar yang jumlahnya banyak sekali itu”

“Meskipun demikian, Tatag, kau harus tetap berhati-hati. Jangan lengah karena kau merasa mempunyai banyak sahabat di hutan itu”

“Ya, ayah” Tatag pun mengangguk-angguk. Demikianlah dari hari ke hari, Tatag menjadi semakin banyak melakukan kegiatan. Tubuhnya tumbuh dengan suburnya. Ia nampak lebih besar dari umurnya yang sebenarnya.

Pada setiap hari, Tatag sudah mulai diperkenalkan dengan tugas-tugas yang harus dilakukannya. Ia tidak saja bermain-main sesuka hati. Ia sudah mulai dibebani dengan kewajiban-kewajiban. Dari menyapu halaman di depan bangunan utama padepokan, sampai tugas-tugas membersihkan kandang kuda. Tatag pun sudah harus mengisi pakiwan sendiri jika ia akan mandi atau sesudah mandi.

Ternyata Tatag memang seorang yang tubuhnya seakan-akan harus selalu bergerak, ada saja yang dilakukannya. Bukan hanya beban kewajibannya sendiri. Tetapi juga kerja yang lain. Bahkan Tatag suka sekali membelah kayu dengan kapak. Kerja yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang dewasa.

Bahkan kemudian Tatag pun mulai diperkenalkan dengan sanggar. Ia sudah harus mulai berlatih dengan bersungguh-sungguh. Jika sebelumnya Tatag hanya sekedar menirukan unsur-unsur gerak yang dilakukan oleh para cantrik, maka ia mulai benar-benar diperkenalkan dengan unsur-unsur gerak yang sesungguhnya.

Namun setiap kali Tatag masih minta ijin untuk pergi ke hutan. Ia masih tetap memelihara hubungan baik dengan binatang-binatang hutan.

“Mereka tidak boleh lupa kepadaku. Jika terlalu lama aku tidak pergi ke hutan, maka binatang-binatang itu tidak akan dapat mengenali aku lagi.

“Tidak Tatag. Mungkin ujudmu yang tumbuh itu mulai berubah. Namun baumu akan tetap dikenali oleh binatang-binatang itu” sahut ayahnya.

Sementara itu, Ki Rangga Kriyadipraja dan Ki Tumenggung Yudapangarsa, sudah mulai sibuk dengan kerjanya. Mereka sudah mulai mengatur tanah yang disediakan oleh Ki Demang. Ki Rangga Kriyadipraja telah meratakan tanah yang seakan-akan bersusun-susun bagaikan tangga raksasa yang memanjat dari lembah sampai ke atas bukit kecil. Ki Rangga Kriyadipraja pun telah mulai mempersiapkan bahan-bahan bangunan yang akan diperlukan untuk membangun pasanggrahan itu.

Ternyata kedatangan sekelompok gegedug yang mengaku dari gerombolan Sapu Angin telah memberikan gagasan kepada Ki Demang untuk minta agar Ki Rangga Kriyadipraja yang memerlukan banyak sekali batu, batu bata dan bambu, membeli dari Ki Demang yang akan membagi tugas kepada rakyatnya yang memerlukan pekerjaan sampingan di samping tugas-tugas mereka di sawah.

“Orang-orang Sapu Angin itu ternyata memberikan gagasan yang menarik Ki Rangga”

“Tentu saja aku tidak berkeberatan. Aku memang harus membeli batu, batu bata dan bambu. Bahkan aku juga memerlukan kayu cukup banyak”

“Tetapi kami tidak mempunyai kayu jati yang baik”

“Ya. Aku tahu. Karena itu, maka aku dapat membeli apa yang dapat Ki Demang sediakan. Batu, pasir, batu bata, bambu dan mungkin juga kami memerlukan tenaga. Jika ada yang mempunyai kesempatan, aku sangat berterima kasih. Sebagian akan kami datangkan tukang-tukang yang sudah berpengalaman dari Mataram. Tetapi disamping mereka, tentu masih banyak tenaga yang kami butuhkan”

Seperti yang diperkirakan oleh Ki Demang, maka pembangunan pesanggrahan itu akan memberikan beberapa kesempatan kepada rakyatnya untuk mendapat tambahan penghasilan bagi mereka yang masih sempat. Bahkan Ki Rangga Kriyadipraja pun sudah menghubungi Nyi Demang untuk mencarikan tenaga yang dapat menyiapkan makan bagi para pekerja.

“Kami memerlukan banyak tenaga untuk mempersiapkan makan para pekerja itu. Karena itu, terserah kepada Nyi Demang untuk mengusahakan”

“Baik Ki Rangga” sahut Nyi Demang. Namun nada suaranya masih agak ragu.

“Jangan ragu-ragu Nyi Demang. Aku minta Nyi Demang juga memperhitungkan berapa beaya yang harus aku keluarkan setiap hari bagi para pekerja yang jumlahnya masih akan kami hitung”

Demikianlah pada satu saat, ditempat yang biasanya sepi itu menjadi sangat sibuk ketika pembangunan pasanggrahan itu kemudian di mulai.

Namun sementara itu, pasukan Mataram yang melawat ke Timurpun sudah berangkat. Satu pasukan yang terhitung sangat besar.

Di padepokan, kesibukan sehari-hari mereka berjalan seperti biasanya. Kerja keras serta latihan-latihan yang penuh kesungguhan di sanggar tertutup dan di sanggar terbuka, sawah mereka yang pernah disengketakan dengan sekelompok prajurit Mataram yang menyalah-gunakan wewenangnya telah menghasilkan padi di beberapa musim.

Ketika Ki Rangga Kiryadipraja menawarkan kesempatan bagi para cantrik untuk memperdalam kemampuan mereka di beberapa bidang, maka Ki Udyana pun menyambutnya dengan hangat.

Beberapa orang cantrik yang memiliki ketrampilan dalam pekerjaan kayu telah dikirim untuk memperdalam ketrampilannya dalam kerja yang besar. Mereka berada di bawah bimbingan para undagi yang berpengalaman, sehingga dengan demikian beberapa orang cantrik dapat mendalami ketrampilan tentang pekerjaan perkayuan.

Ki Udyana pun juga mengirimkan beberapa orang yang mendalami pekerjaan sebagai tukang batu.

Bahkan Ki Udyana pun telah mempersiapkan beberapa orang yang telah mempelajari cara mengukir kayu, sehingga Ki Udyana juga menyertakan lima orang yang memiliki kemampuan mengukir kayu.

Dengan demikian, para cantrik di padepokan Ki Udyana itu selain memiliki kemampuan olah kanuragan, juga mendapatkan bekal bagi hidup mereka kelak. Mereka akan dapat hidup dengan ketrampilannya, sehingga mereka tidak akan tersesat dengan mempergunakan kemampuan olah kanuragan mereka untuk mendapatkan uang dengan mudah, tetapi dengan cara yang tidak sewajarnya.

Bahkan padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu pun telah menghasilkan beberapa peralatan pertanian yang dikerjakan oleh para cantrik yang telah menguasai ketrampilan sebagai pande besi. para petani yang tinggal di padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu sudah tahu, bahwa jika mereka ingin membeli alat-alat pertanian dari besi, mereka dapat membelinya di padepokan yang dipimpin oleh Ki udyana itu. Harganya bahkan lebih murah daripada jika mereka membelinya di pasar, sedangkan buatannya pun cukup baik dan kuat.

Sementara itu, Tatag pun telah dapat menempatkan dirinya. Ia sudah tahu kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Sejalan dengan pertumbuhannya, maka kewajiban yang dibebankan kepada Tatag pun semakin lama menjadi semakin banyak pula. Tetapi Tatag selalu dapat menyesuaikan dirinya.

Dalam pada itu, di Mataram, Ki Tumenggung Singaprana. Ki Rangga Surawiraga dan Ki Panji Suranegara harus menjalani hukuman karena kesalahan yang telah mereka lakukan. Tetapi mereka tidak dimasukkan ke dalam satu ruang pada masa hukuman yang harus mereka jalani.

Ki Tumenggung Singaprana berada dalam satu ruang dengan seorang Tumenggung yang masih terhitung muda. Sehari-hari Ki Tumenggung muda itu nampak selalu murung. Bahkan seakan-akan ia sudah tidak lagi mengharapkan kedatangan hari esok.

“Adi Tumenggung Jayawilaga. Aku melihat adi setiap hari, selalu m urung. Mungkin adi menyesali kesalahan yang pernah adi lakukan. Aku juga menyesal, bahwa aku telah melakukan kesalahan sehingga aku harus tinggal disini. Tetapi bukankah kita tidak harus selalu berwajah murung dan bahkan cenderung untuk berputus-asa”

“Rasa-rasanya tidak ada lagi hari esok bagiku, kakang Tumenggung Singaprana. Segala sesuatunya sudah runtuh dan tidak mungkin lagi dapat bangun kembali”

“Apa yang sudah terjadi, adi. Aku adalah orang yang telah melakukan kesalahan terbesar di Mataram. Apalagi sebagai seorang prajurit. Aku sudah dinyatakan bersalah karena aku telah memberontak. Aku telah melawan kekuasaan Mataram. Tetapi aku tidak berputus-asa. Aku berharap bahwa pada saat aku selesai menjalani hukuman, aku masih mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahanku dengan melakukan kebaikan bagi negeri ini”

“Kakang masih berpengharapan. Tetapi aku tidak. Hidupku sudah hancur sama sekali. Aku sudah kehilangan segala-galanya”

Ki Tumenggung Singaprana menarik nafas panjang. Sebagai seorang yang umurnya lebih tua, maka Ki Tumenggung Singaprana merasa bahwa ia berkewajiban untuk membantu meringankan beban perasaan Ki Tumenggung Jayawilaga”

“Adi” berkata Ki Tumenggung Singaprana, “selama kita masih hidup, maka kita akan masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk mempersiapkan masa depan kita. Bukankah adi tidak harus menjalani hukuman seumur hidup? Menurut ceritera adi sendiri, adi hanya akan menjalani hukuman selam empat tahun, sementara adi sudah menjalaninya seperti-ganya lebih sebelum adi di pindahkan ke ruang ini”

“Ya”

“Bukankah waktu adi masih panjang. Adi terhitung masih muda. Setelah adi Tumenggung bebas kelak, maka masih banyak kesempatan bagi adi untuk berbuat baik. Aku yang sudah lebih tua, masih harus menjalani hukuman yang lebih lama. Untunglah bahwa Raden Tumenggung Wreda Somadilaga berusaha untuk meringankan hukumanku, sehingga aku juga harus menjalani hukuman empat tahun. Tetapi aku belum lama mulai, sehingga menurut perhitungan waktu, maka adi Tumenggung akan keluar lebih dahulu dari penjara ini”

“Aku lebih senang untuk menjalani hukuman seumur hidupku, kakang Tumenggung”

Ki Tumenggung Singaprana mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kenapa?”

“Apa artinya aku pulang jika rumahku sudah kosong”

“Kosong?”

Ki Tumenggung Jayawilaga itu pun kemudian duduk sambil memeluk lututnya. Sejenak ia menyembunyikan wajahnya. Namun kemudian sambil mengangkat wajahnya itu ia pun berkata, “Kakang Tumenggung. Aku sudah berbohong kepadamu. Aku dipenjara bukan karena aku membunuh bawahanku karena bawahanku tidak mau menjalankan tugas yang aku bebankan kepadanya. Tetapi aku dipenjara karena aku membunuh isteriku serta seorang laki-laki yang berselingkuh dengan isteriku”

“Adi Tumenggung sudah membunuh dua orang?”

“Ya Tetapi aku tidak sengaja dan tidak merencanakannya lebih dahulu, karena itu, maka hukumanku terhitung ringan bagi pembunuhan atas dua orang. Laki-laki dan perempuan”

“Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga adi Tumenggung? Nampaknya ada kabut yang tebal yang telah menyelubungi keluarga adi Tumenggung”

“Ya. Yang terjadi itu karena hatiku yang goyah. Aku adalah laki-laki yang lemah. Mungkin aku seorang prajurit yang baik di medan perang. Kawan-kawanku yang seumurku, masih belum mendapat anugerah pangkat setinggi aku. Karena aku dianggap memiliki kelebihan di medan perang, maka pangkatku pun lebih cepat naik daripada kawan-kawanku. Tetapi disisi lain, maka hatiku adalah hati yang rapuh”

Ki Tumenggung Singaprana mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Kita memang harus menyesali kesalahan yang pernah kita lakukan. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita kehilangan seluruh masa depan kita. Aku adalah seorang pemberontak yang namaku sudah tidak berharga sama sekali. Apalagi dikalangan prajurit Mataram. Tetapi aku masih berusaha menatap masa depanku. Aku masih dapat berdoa dan memohon”

Ki Tumenggung Jayawilaga menarik nafas panjang. Sikap Ki Tumenggung Singaprana menimbulkan kesan yang sejuk di hatinya. Karena itu, maka diluar sadarnya, timbullah kepercayaan di hati Ki Tumenggung Jayawilaga kepada kawan seruangan di penjara itu.

Ki Tumenggung Jayawilaga itu pun kemudian duduk-duduk di bibir pembaringannya sambil bertanya, “Apakah kakang Tumenggung sempat mendengarkan ceriteraku. Sejak peristiwa itu terjadi, maka rasa-rasanya aku telah memikul beban yang sangat berat. Hukuman yang dijatuhkan kepadaku, dapat sedikit meringankan beban perasaanku. Tetapi aku masih saja merasa bahwa beban itu sangat berat untuk aku usung di seumur hidupku. Karena itu, maka aku merasa bahwa lebih baik aku tetap berada di penjara ini seumur hidupku. Rasa-rasanya hukuman ini sedikit dapat meringankan beban penyesalan yang harus aku tanggungkan”

“Adi Tumenggung adalah seorang prajurit. Adi harus mempunyai kekuatan lahir dan batin untuk menghadapi gejolak dalam hidup ini. Jika adi merasa telah bersalah, maka sebaiknya adi berusaha untuk mendapat kesempatan menebus kesalahan itu dengan perbuatan yang berarti buat orang banyak. Tidak sekedar duduk merenungi kesalahan itu di dalam penjara ini. Aku pun telah berjanji kepada diri sendiri. Jika aku kelak sempat keluar dari penjara ini, maka aku harus menebus segala kesalahan yang pernah aku lakukan dengan perbuatan yang nyata. Yang nampak dan teraba oleh banyak orang”

Ki Tumenggung Jayawilaga menarik nafas panjang.

“Kakang mau mendengar ceriteraku? Mungkin dengan demikian bebanku dapat berkurang”

“Katakan adi. Bukankah kita mempunyai banyak waktu disini?”

Ki Tumenggung Jalawilaga itu menarik nafas panjang. Wajahnya menatap jauh menerawang menembus ruji-ruji di bagian atas pintu biliknya.

“Waktu itu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sebelum aku menjadi seorang Tumenggung, aku sudah berhubungan dengan seorang gadis dari sebuah padukuhan kecil, kakang. Hubunganku dengan gadis itu, diluar pengetahuan ayah dan ibuku. Meskipun aku sudah menjadi seorang prajurit, tetapi ayah dan ibu masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak yang harus menurut semua perintahnya, termasuk untuk memilih seorang isteri”

Ki Tumenggung Jayawilaga itu pun berhenti sejenak. Namun Ki Tumenggung Singaprana telah menangkap arah ceritera Ki Tumenggung Jayawilaga. Agaknya Ki Tumenggung Jayawilaga itu pun kemudian telah dipaksa menikah dengan seorang perempuan yang tidak dikehendaki. Ternyata perempuan itu kemudian selingkuh, sehingga Ki Tumenggung itu telah membunuhnya sekaligus laki-laki yang berselingkuh dengan isterinya.

Karena itu, Ki Tumenggung Singaprana tidak mengusiknya lagi. Ia tidak ingin memaksa Ki Tumenggung Jayawilaga mengenang kembali peristiwa pahit itu.

Tetapi ketika kemudian Ki Tumenggung Jayawilaga itu menceriterakan peristiwa demi peristiwa, Ki Tumenggung Singaprana pun mendengarkannya dengan baik.

“Mungkin aku dapat sedikit ikut memikul beban penyesalannya” berkata Ki Tumenggung Singaprana di dalam hatinya.

Pada waktu itu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, seorang Lurah prajurit muda yang bernama Jayawilaga mendapat tugas untuk memburu sekelompok perampok yang sangat ditakuti. Dengan berani Ki Lurah serta sekelompok prajurit pilihan, memburu sekelompok perampok yang dipimpin oleh Kalamurda. Seorang perampok yang dipercaya mempunyai nyawa rangkap, sehingga sangat sulit untuk dapat mengalahkannya. Beberapa orang prajurit yang telah mendapat tugas untuk menangkapnya selalu gagal. Bahkan beberapa orang prajurit telah menjadi korbannya.

Namun Ki Lurah Jayawilaga sempat menjebaknya selagi Kalamurda merampok di rumah seorang saudagar yang kaya raya. Seorang saudagar yang memperdagangkan emas, permata dan bahkan wesi aji dan berbagai jenis benda-benda yang dikeramatkan.

Pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Ki Lurah Jayawilaga dapat berhadapan langsung dengan Kalamurda yang garang itu.

Tetapi Ki Lurah Jayawilaga adalah seorang prajurit muda yang memiliki bekal yang cukup. Karena itu, maka Kalamurda yang telah pernah menelan korban beberapa orang prajurit itu, telah membentur kemampuan yang ternyata dapat mengimbanginya.

Pertempuran pun terjadi dengan sengitnya dihalaman yang luas rumah Ki Sudagar. Sementara itu Ki Sudagar sendiri serta dua orang pembantunya telah ikut memberikan perlawanan pula.

Perlahan-lahan para prajurit pilihan yang menyertai Ki Lurah Jayawilaga itu pun mulai menguasai para perampok. Sementara Kalamurda sendiri terikat dalam pertempuran melawan Ki Lurah Jayawilaga.

“Iblis kau anak muda” geram Kalamurda, “aku tidak pernah bertemu dengan seorang prajurit yang seliat kau ini”

“Menyerahlah Kalamurda!” berkata Ki Lurah Jayawilaga.

“Aku adalah Kalamurda, pembunuh prajurit yang sangat ditakuti oleh semua orang di Mataram. Kau pun akan segera mati pula disini bersama prajurit-prajuritmu”

“Jangan berpura-pura tidak melihat, bahwa para pengikutmu telah semakin terdesak. Mereka akan terkapar satu-satu sehingga akhirnya kau akan tinggal sendiri. Semua senjata prajurit-prajuritku akan tertuju kepadamu, sehingga jika kau tidak mau menyerah, maka kau akan terbunuh dengan luka arang keranjang”

“Kau gila prajurit muda. Meskipun seandainya semua pengikutku mati, aku sendiri mampu membunuh kalian semuanya”

“Kau tidak dapat membual dihadapanku, Kalamurda. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku”

Pertarungan antara keduanya pun menjadi semakin seru. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga sampai ketataran tertinggi. Serangan pun segera dibalas dengan serangan, sehingga sekali-sekali serangan-serangan itu mampu menembus pertahanan lawannya.

Namun akhirnya ternyata, bahwa Ki Lurah Jayawilaga memiliki kemampuan yang lebih tinggi. Meskipun Kalamurda itu sempat melukai bahu dan lengan Ki Lurah, sehingga darah mengalir dengan deras dari luka itu, namun akhirnya senjata ki Lurah pun telah menghunjam di dada Kalamurda, sehingga Kalamurda itu pun terkapar di tanah, sehingga tidak akan dapat bangkit kembali.

Kematian Kalamurda telah membuat para pengikutnya tidak meneruskan perlawanannya. Para pengikutnya pun segera melemparkan senjata-senjata mereka.

Namun delapan orang pengikutnya semuanya sudah terluka. Sedangkan tiga orang diantara mereka tidak dapat tertolong lagi. Mereka pun telah terbunuh pula di pertempuran itu. Sedangkan para prajurit terpilih yang dipimpin oleh Ki Lurah Jayawilaga itu pun tetap utuh meskipun lima orang telah terluka. Dua diantaranya terhitung parah.

Dihari berikutnya, para prajurit dan para tetangga Ki Sudagar itu pun menjadi sibuk. Dua orang tabib telah diminta datang untuk mengobati orang-orang yang terluka. Para perampok yang menyerah itu pun telah menjadi tawanan para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Jayawilaga. Sedangkan yang terbunuh pun telah dibawa ke kuburan, dibantu oleh tetangga-tetangga Ki Sudagar.

Meskipun pemimpin perampok yang bernama Kalamurda itu sudah terbunuh, namun ternyata bahwa Ki Sudagar masih minta Ki Lurah untuk tinggal di rumahnya beberapa hari sambil menunggu keadaan para prajurit yang terluka menjadi berangsur baik. Demikian para tawanan, sehingga para tawanan itu dapat menempuh perjalanan ke Mataram.

“Kalau kawan-kawan mereka datang untuk membalas dendam, maka kami akan mereka bantai jika ki Lurah tidak ada disini” berkata Ki Sudagar.

Ki Lurah pun mengerti kecemasan Ki Sudagar, sehingga karena itu, maka Ki Lurah pun berniat untuk tinggal beberapa hari di rumah Ki Sudagar bersama prajurit-prajuritnya serta tawanan-tawanannya. Ki Sudagar telah menyatakan kesediaannya untuk menyediakan makan dan minum bagi mereka”

“Seandainya Ki Lurah akan tinggal disini sebulan bersama para prajurit, aku tidak akan merasa keberatan”

Ki Lurah Jayawilaga tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Ki Sudagar. Tetapi aku tentu akan berada disini menurut keperluan. Jika keadaan sudah tidak lagi menggelisahkan, maka aku harus segera ke kesatuanku”

“Tetapi bukankah tugas Ki Lurah tidak dibatasi waktu?”

“Asal tidak terlalu lama, Ki Sudagar. Jika tugasku sudah selesai, aku harus segera kembali. Aku tidak dapat berkeliaran menurut kehendakku sendiri”

“Tetapi disini Ki Lurah juga menjalankan tugas” Dengan demikian, maka ki Lurah bersama para prajurit dan tawanannya untuk beberapa lama berada di rumah Ki Sudagar. Sementara ia berada di rumah itu, maka Ki Lurah dan para prajurit telah berusaha untuk membangkitkan kesiapan anak-anak muda menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah juga mendorong agar anak-anak muda lebih giat berada di gardu-gardu parondan. Disamping itu para prajurit telah memberikan latihan-latihan yang paling mendasar bagi anak-anak muda, agara mereka dapat sedikitnya melindungi padukuhan mereka sendiri.

Pada masa-masa seperti itu, Ki Lurah Jayawilaga telah berkenalan dengan seorang gadis, anak tetangga Ki Sudagar. Perkenalan yang telah membawa mereka ke dalam satu hubungan yang sangat khusus.

Bahkan ketika kemudian Ki Lurah kembali ke kesatuannya, maka hubungan itu tidak terputus.

Setiap kali Ki Lurah telah pergi menemui gadis anak tetangga Ki Sudagar. Bahkan Ki Sudagar pun kadang-kadang justru dengan sengaja mempertemukan mereka.

Ki Sudagar sendiri juga mempunyai anak-anak perempuan. Tetapi semuanya sudah menikah.

Karena itu, maka jika ia melihat ki Lurah bertemu dengan gadis anak tetangganya, rasa-rasanya seperti melihat anak-anak perempuannya pada masa-masa menjelang perkawinan mereka.

Ternyata orang tua gadis itu pun tidak berkeberatan sama sekali. Bahkan mereka berbangga bahwa anaknya telah mendapat calon suami seorang Lurah prajurit yang berilmu tinggi. Yang telah mampu mengalahkan Kalamurda yang sangat ditakuti itu.

Tetapi yang tidak terpikirkan oleh Ki Lurah Jayawilaga telah mengguncang hubungannya dengan gadis itu. Ternyata ayah Ki Lurah Jayawilaga tidak merestui hubungan itu, karena orang tua Ki Lurah sudah memilih calon isteri bagi anak laki-lakinya.

Itulah mula-mula dari segala bencana. Ki Lurah yang merasa sudah dewasa, sudah berhak untuk menentukan hari depannya sendiri, tidak mau menerima begitu saja perempuan pilihan orang tuanya. Untuk membuktikan bahwa Ki Lurah Jayawilaga berniat untuk menunjukkan kedewasaannya serta haknya untuk menentukan masa depannya sendiri, Ki Lurah telah menempuh jalan yang salah menurut penglihatan orang tuanya.

Ki Lurah pun kemudian menikah diam-diam dengan gadis itu.

“Apakah pernikahan kita akan dapat langgeng, kakang?” bertanya perempuan itu.

“Tergantung kepada kita sendiri, Nini. Jika kita teguh pada sikap kita, maka tidak akan ada orang lain yang akan dapat mengganggu”

Gadis itu pun kemudian menggtantungkan nasibnya kepada seorang laki-laki yang dicintainya. Seorang Lurah prajurit.

Tetapi kuasa ayah dan ibu Ki Lurah itu ternyata melampaui nyala api cintanya. Ayah dan ibunya telah memanggilnya dan menyatakan sikapnya.

“Kau harus meninggalkannya”

“Isteriku sedang mengandung, ayah”

“Kau dapat memilih. Meninggalkan isterimu dalam keadaan mengandung dan menikah dengan perempuan yang sudah aku tentukan sejak kau masih remaja, atau isterimu itu. akan hilang untuk selama-lamanya”

Ki Lurah tahu benar sifat dan watak ayahnya. Kata-katanya bukan sekedar ancaman. Tetapi ayahnya tentu akan melakukannya.

Ki Lurah tidak dapat memilih. Ia akhirnya telah menjadi seorang pengkhianat. Ki Lurah itu telah mengkhianati cintanya. Ditinggalkannya isterinya yang sedang mengandung itu.

“Perempuan itu tidak boleh hilang begitu saja bersama anakku dalam kandungannya” berkata Ki Lurah didalam hatinya, “biarlah aku dihinakannya sebagai seorang pengkhianat. Seorang yang hatinya rapuh. Seorang yang tidak mendiri dalam sikap jiwani. Tetapi perempuan dan anak dalam kandungannya itu harus diselematkan”

Ki Lurah itu pun berusaha untuk menjelaskan sikapnya itu kepada isterinya.

Perempuan itu pun menangis sambil berkata, “Aku mengerti, kakang. Aku memang sudah menduga sejak semula, bahwa beginilah akhir dari perkawinan kita”

“Yang penting, kau dan anakmu selamat lebih dahulu. Aku belum berputus-asa. Selama masih ada hari-hari di depan kita, semoga aku menemukan jalan itu”

Isterinya hanya dapat menangis. Tetapi ia tidak dapat menahan suaminya pergi dari sisinya.

Akhirnya Ki Lurah Jayawilaga tidak dapat mengelak lagi. Pada suatu hari, maka Ki Lurah itu harus menikah dengan seorang perempuan yang tidak dicintainya. Tetapi perempuan itu adalah pilihan orang tuanya.

Meskipun demikian, Ki Lurah itu sempat mengunjungi isterinya yang telah ditinggalkannya itu setelah anaknya lahir. Seorang bayi laki-laki yang sangat sehat”

Tetapi Ki Lurah Jayawilaga itu tidak dapat menimang anaknya itu setiap saat. Kekerasan hati orang tuanya serta tugas-tugas keprajuritannya, akhirnya benar-benar telah memisahkannya dengan isteri dan anaknya.

Sebenarnyalah, Ki Lurah Jayawilaga yang sangat kecewa akan sikap orang tuanya itu, telah menenggelamkan diri dalam tugas keprajuritannya. Ki Lurah itu seakan-akan tidak pernah berada di rumah. Ia lebih banyak berada dibaraknya dan di tempat tugasnya. Memadamkan berbagai macam kerusuhan. Dengan ilmunya yang tinggi Ki Lurah pun telah mengalahkan, menangkap dan bahkan membunuh para pemimpin perampokk yang ditakuti di Mataram. Gerombolan-gerombolan yang paling ganas pun telah dihancurkannya pula.

Dengan demikian, maka pangkat dan jabatan Ki Lurah Jayawilaga itu pun dengan cepat menanjak, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat dibandingkan dengan kawan-kawan seangkatamn, Ki Lurah Jayawilaga telah diangkat dan ditetapkan menjadi seorang Tumenggung.

Namun gejolak dalam keluarganya itu pun telah datang menyusul. Nama Ki Tumenggung Jayawilaga sebagai seorang laki-laki benar-benar telah terpuruk. Ternyata isterinya yang kesepian itu telah berselingkuh.

Meskipun Ki Tumenggung tidak mencintai isterinya, tetapi Ki Tumenggung tidak mau namanya diinjak-injak. Karena itu, maka Ki Tumenggung Jayawilaga telah menantang laki-laki yang berse-lingkuh dengan isterinya itu untuk berperang tanding.

Ternyata laki-laki itu juga seorang laki-laki yang berilmu tinggi, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Jayawilaga pun harus meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Ki Tumenggung Jayawilaga sebenarnya tidak ingin membunuhnya, ia ingin mengalahkan laki-laki itu. Namun kemudian ia justru ingin agar laki-laki itu membawa isterinya pergi. Dengan demikian, Ki-Tumenggung Jayawilaga akan mendapat kesempatan untuk kembali kepada isterinya yang telah ditinggalkannya itu.

Tetapi dalam perang tanding itu, Ki Tumenggung Jayawilaga kehilangan pengendalian dirinya. Justru telah Ki Tumenggung terluka, maka ujung senjatanya telah terhunjam di dada laki-laki itu langsung menembus jantungnya

Ketika laki-laki itu terkapar jatuh di tanah, maka tiba-tiba saja isterinya berlari-lari serta menjatuhkan diri memeluk laki-laki yang telah dibunuhnya dalam perang tanding itu.

Darah Ki Tumenggung Jayawilaga masih mendidih di jantungnya. Ketika ia melihat isterinya memeluk laki-laki yang telah dibunuhnya itu, maka dunia pun benar-benar menjadi gelap. Senjatanya yang masih basah oleh darah laki-laki yang dibunuhnya itu pun tiba-tiba telah terhunjam di punggung isterinya.

Suasanapun kemudian menjadi hening. Suara Ki Tumenggung Jayawilaga menjadi serak. Peristiwa itulah yang telah membawanya ke dalam penjara, tetapi Ki Tumenggung Jayawilaga tidak dianggap bertanggung jawab sepenuhnya atas kematian kedua orang itu. Seorang diantara mereka memang telah berdiri dalam arena perang tanding. Namun seharusnya Ki Tumenggung Jayawilaga tidak membunuh isterinya yang telah selingkuh itu.

 -oo0dw0oo-

T A M A T

Karya : SH Mintardja

Sumber DJVU http ://gagakseta.wordpress.com/

Convert by : DewiKZ

Editor : Dino

Final Edit & Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

http://ebook-dewikz.com/ http://kang-zusi.info

edit ulang untuk blog ini oleh Arema

kembali | TAMAT

10 Tanggapan

  1. Belum selesai kok sudah ditamatkan?

    ngapunten, yang menulis lebih dulu dipanggil “Yang Punya”
    beliau meninggal dunia sebelum menyelesaikan beberapa judul ceritanya, termasuk Api di Bukit Menoreh dan Haijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan (Serial Pelangi di Langit Singasari)

  2. Menurut dugaan saya, Tatag adalah anak dr tumenggung Jayawilaga dan istri pertamanya

  3. Ko kaya gini sih ahir cerita’a ? Ada yg ngeganjel.
    Trus gimana klanjutan kisah tatag?

    • yg nulis keburu “menghadap” ceritanya kayaknya panjang. Tatag masih misterius

  4. Menggantung

  5. owalah..nembe ngertos menawi Tembang Tantangan termasuk engkang mboten tuntas..kulo kinten namung Api DI Bukit Menoreh

  6. Semoga Alm,S.H. Mintardja, Damai dan Bahagia dlm Kasih Allah SWT.
    Aamiin…
    Keterbatasan manusia adalah wajar.
    Walau karya2 Beliau,ada beberapa yg tidak rampung,tp saya sangat menghargai,
    Karya2 beliau sangat bagus sekali
    Gaya bahasa dan penataan kata2 sangat bagus,apalagi disisipi beberapa nasehat dan motivasi.
    Terima kasih

  7. Nggak selesai, tapi ini side story yang bagus karena sampai jilid terakhir belum bisa ditebak ortunya Tatag.

Tinggalkan komentar